Sebelum membaca, klik musik diatas yang sudah saya pilih buat kalian. 😇
Orang bilang, aku hanya mencintai bayangan yang mungkin tanpa sadar kuciptakan sendiri. Sebab sudah sekian lama rasa ini bertahan, meski tak pernah bersua. Tapi bukankah begitu esensi cinta? Mekar meski tidak terawat. Ada meski tak kasatmata. Biarlah. Manusia saja diciptakan Tuhan berbeda-beda. Bisa jadi cinta pun demikian, apa yang manusia definisikan soal cinta bisa jadi tak sama. Meyakini yang kurasa adalah cinta sudah cukup membuatku kuat menghadapi dunia.
Aku masih ingat bagaimana matamu berkilat, mengagumi senja yang kau muat dalam kanvas. Ah, tadinya kupikir kita sangat unik dan berbeda, tapi ternyata kita tak beda jauh dengan manusia lain. Kau mengagumi senja, aku mengagumi hujan. Dua hal yang jadi primadona kaum romantis.
"Masihkah kau mencintai senja?" Ucapku tanpa sadar, kala kusaksikan langit disapu jingga dan ungu sebelum petang. Ah, kini aku bisa mengerti mengapa kau begitu memujanya. Senja memang begitu memukau. Membuat siapa pun merasa sang Pencipta memang kreator yang ulung. Mungkin kau tidak akan keberatan jika aku bilang, Tuhan adalah pelukis terbaik, tentu saja pelukis terbaik setelahnya adalah kau.
"Kau tahu, aku sekarang tidak suka hujan lagi. Aku lebih suka gerimis." Andai kalimat ini bisa kusampaikan sendiri padamu. Sayangnya, aku kini hanya bisa menitipkannya pada angin berembus.
Segalanya senantiasa berubah, bukan? Aku kerap bertanya-tanya, apa kau akan tetap menyukai perubahanku yang sekarang? Aku tidak lagi menyukai hujan, kini aku lebih menyukai gerimis. Tadinya kupikir, mungkin saja semua perubahan ini membuat cintaku berubah, menyublim, bercampur dalam udara tanpa jejak. Tapi rupanya aku salah, semakin hari rasa ini terpatri dalam, mencabutnya dengan paksa malah akan membuat hatiku meranggas. Ironis memang, dalam cinta, kebahagiaan dan kesedihan rupanya memang bersekat sangat tipis.
Aku menunggumu, meski menunggumu setiap harinya terasa kian sesak. Aku masih menunggu, sebab kupercaya ikatan kita demikian kuat.
Tanpa terasa 5 tahun sudah berlalu, dan aku berada di ujung mimpi yang membatasiku dari realita.
"Nanti aku jemput aja ya, kita ke sana bareng!" Hatiku terus berteriak, berharap jika kata-kata itu berasal dari bibirmu. Tentu saja semua itu hanya harapanku semata.
Aku tidak peduli dibilang jahat, karena meski hatiku sudah kuberikan padamu, aku masih menerimanya. Aku memang egois karena sisi wanitaku terus merongrongku untuk menerima kenyataan. Dan kau adalah satu-satunya lembar kehidupanku yang tak nyata.
Aku kadang mengamatinya, mencari-cari, adakah sedikit dari dirinya yang mirip denganmu. Nihil. Kalian adalah dua sosok berbeda. Dua laki-laki berbeda.
Boleh aku jujur? Aku sudah jahat padanya. Pertama, fakta aku mencintaimu yang kusimpan rapat agar dia tak pernah tahu. Aku memperlakukannya seperti rencana cadangan dan dia memprioritaskanku seperti rencana utama. Kedua, fakta bahwa dia laki-laki yang baik, setelah kuperlakukan demikian jahat, bukan hanya baik padaku. Dia juga baik pada orang terdekatku. Lalu, salahkah jika aku mulai simpati padanya? Pada lelaki baik yang demikian mencintaiku?
Andai hati layaknya laptop yang punya tombol delete, sudah jauh-jauh hari kuhapus rasa ini agar hidupku jauh lebih mudah. Kau tak pernah memintaku menunggu, tapi mengapa selama ini aku menunggumu? Mengapa kucari sosokmu dalam sosok laki-laki lain? Apa ini karma.
"Laki-laki baik yang mencintaimu itu langka, mau cari yang gimana lagi?" Kata salah saeorang temanku. Dia benar. Aku jadi teringat pesan ibuku, wanita akan bahagia jika bersanding dengan laki-laki baik yang mencintainya sepenuh hati. Aku tahu dia sangat baik, sebab kami sudah lama berkenalan. Jauh sebelum aku bertemu denganmu. Apa aku terlalu serakah karena menginginkan bersanding dengan orang yang mencintaiku dan kucintai pula?
Tamat
Ramonamona1
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hatimu
Short StorySuara Hati merupakan kompilasi cerita pendek. Slow Up date. Mari turut menyelami. (2019©)