Kesayangan Ayah

7 4 1
                                    

"Bu, boleh aku tahu, mengapa ayah dan ibu memberiku nama Diskha Sandhya?". Aku bertanya ketika Ibu menghantarku tidur dalam pelukannya malam itu.

"Kau lahir pada waktu senja. Saat itu langit sangat indah. Jingga yang menyatu dengan birunya laut, debur suara ombak menuju pantai. Suasana yang menghangatkan hati. Hangat dan lembut. Ayah dan ibu berharap kau jadi pribadi yang hangat dan lembut. Dishka Sandhya. Dishka artinya anak kedua, Sandhya artinya senja." Kuperhatikan raut wajah ibu saat menjelaskan arti namaku, sepertinya ibu kembali pada perjuangannya melahirkan aku. Ada rasa bahagia yang kurasakan dalam diri ibu.

"Oh itu, ya. Yang suka senja siapa, Bu? Ayah atau ibu?" tanyaku lagi.

"Ayah. Ia sangat suka suasana senja, katanya buat hati tenang," jawab ibu seraya tersenyum.

"Berarti Sandhya anak kesayangan ayah, dong. Bisa buat hati ayah tenang," tukasku girang.

"Iya, anak kesayangan ayah. Sudah, ah tidur, besok sekolah." Ibu membenahi selimut kemudian mencium keningku, "Selamat malam,anak kesayangan ayah, mimpi indah, Sayang."

"Selamat malam, Ibu. Sandhya sayang ibu."

***

Sudah jam 2 siang, ayah belum juga datang menjemputku. Sekolah telah usai dari jam 11. Hari itu adalah pengalaman pertamaku naik angkutan kota. Aku beranikan diri melangkah ke pinggir jalan besar tempat kendaraan umum lalu lalang. Dari kejauhan kulihat satu angkutan kota, dengan penuh percaya diri kulambaikan tangan agar supirnya tahu kalau aku ingin ikut. Aku masuk dalam angkutan kota. Duduk manis berharap segera sampai di rumah, otakku sudah dipenuhi dengan bayangan masakan ibu yang lezat. Ya, perutku sudah lapar. Namun, lamunanku buyar karena angkutan kota yang kutumpangi bukan mengarah ke jalan menuju rumah. Dag dig dug serrrr... Jantungku berdegup cepat.

"Bang, ini bukan angkot ke Lhok Bengkuang, ya?" aku memberanikan diri bertanya, daripada tersesat.

"Gak, ini ke Lhok Keutapang, Dik." Jawab abang kernet, "Kamu mau ke mana?" si abang tanya balik.

"Aku mau ke Lhok Bengkuang, Bang."

"Aduh, kamu salah angkot, Dek," sontak abang kernet memukul dinding angkot memberi tanda pada supir supaya berhenti. "Kamu tunggu di terminal aja, naik angkot nomor 05, itu angkot ke Lhok Bengkuang," jelas abang kernet.

"Iya, Bang, terima kasih. Ini ongkosnya, Bang," aku memberinya uang 500 perak.

"Gak usah, simpan buat ongkosmu nanti. Hati-hati, ya?"

Aku mengangguk. Matahari sangat terik, membuatku haus tapi uang cuma sisa buat ongkos pulang. Tak lama kemudian terlihat angkutan kota bernomor 05 seperti yang dikatakan si abang kernet. Hatiku pun senang bukan kepalang.

***

"Ayah, sih, gak jemput Sandhya. Jadi nyasar, kan?" kataku sambil mengiba pada ayah.

"Sepeda motor ayah mogok, makanya ayah gak bisa jemput tepat waktu," jawab ayah sambil menyeruput kopinya. "Tapi ayah jemput adek, kok. Ayah kira, adek masih nunggu ayah, gak tahunya sudah pulang." Ayah biasa memanggilku dengan sebutan adek kadang dedek. Maklum aku anak bungsu kala itu.

"Iya, kan adek malu, Yah. Adek juga takut karena baru pertama kali naik angkot," cicitku manja.

"Anak ayah pintar, kok. Berani juga, berani mencoba suatu yang baru, jadi pengalaman berharga, dong." Ayah mendekat dan memelukku. Begitulah ayah, aku bisa merasakan kasih sayangnya. Ia sangat menyayangiku.

Malam itu, ayah, ibu, abang tertawa mendengar ceritaku. Pengalaman pertamaku naik angkutan kota. Mereka geli sekaligus salut dengan keberanianku. Sebenarnya anak seumuranku harusnya sudah bisa dan tahu cara memilih angkutan kota yang sejurusan dengan arah rumah. Sudah kelas 5 SD, harusnya sudah paham. Tapi, aku memang tidak pernah dibiarkan ayah pulang sendiri. Mungkin ayah khawatir karena aku anak perempuan.

***

Bila Kupandangi Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang