03

11K 763 22
                                        

"Rose!!"

Panggilan itu tentu saja membuat Rose terkejut. Ia bahkan baru saja memasuki gedung kampusnya dengan perasaan yang begitu bahagia hanya karena pria bernama Park Jimin yang baru beberapa jam ia temui.

Helaan napas gadis itu ia keluarkan sembari kedua tangannya kini bersedikap di dada. Paginya harus rusak karena melihat pria yang begitu menyebalkan baginya itu kini mendekat padanya.

"Siapa pria itu tadi? Kekasihmu?"

"Lalu apa masalahnya denganmu? Mau itu kekasihku atau tidak, itu sama sekali bukan urusanmu."

"Oh, itu tentu saja menjadi urusanku. Kau bahkan tak pulang semalam. Dan datang ke kampus dengan seorang pria yang tak ku kenal. Kau mau aku adukan ini pada ibumu?"

Rose menatap kesal pada pria itu. Semakin bertambah kesal karena pria itu kini mengeluarkan sebuah senyuman seolah dirinya menang kali ini.

"Kau menyebalkan, Jungkook. Jangan menggunakan eomma untuk kepentingan dirimu sendiri."

"Aku tidak. Aku hanya menjalankan apa yang ibumu suruh saat itu."

Inilah yang paling tak disukai Rose dari seorang Jeon Jungkook.

Ya, Jeon Jungkook. Pria yang dijodohkan dengannya oleh kedua orangtuanya itu. Di awal, Rose tak terlalu mempermasalahkan masalah perjodohan ini. Karena dirinya saat itu pula tak memiliki kekasih ataupun seseorang yang ia sukai. Apalagi, ini adalah pilihan orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak akan pernah mau untuk menjodohkan putri mereka dengan seseorang yang tak baik.

Di awal pula, Rose menerima kehadiran Jungkook dengan tangan terbuka. Namun, setelah beberapa lama mengenal pria itu, Rose mulai mengetahui bagaimana sifat pria itu yang tertutupi oleh wajah tampannya.

Seperti saat ini, pria itu begitu mengatur hidupnya. Selalu saja mengancamnya dan akan memberitahu pada Ibunya. Ugh, rasanya Rose ingin sekali selalu menjambak rambut milik pria itu karena terlalu menyebalkan.

"Ibumu bilang dia akan pulang nanti malam."

Kedua mata gadis itu membulat. Mengapa Jungkook yang tahu sementara dirinya tak mengetahuinya?

"Dan dilihat dari raut wajahmu saat ini, kurasa ibumu belum mengatakan apapun padamu."

Ugh, lihatlah wajah pria itu ketika sedang berada di atas angin. Ingin sekali rasanya mencabiknya karena Jungkook benar-benar sangat menyebalkan baginya.

"Jadi, setelah kau sudah menyelesaikan kelasmu hari ini, kau akan pulang bersamaku. Dan itu tak ada penolakan. Aku akan menunggumu di depan kelasmu jika perlu."

Jungkook mendekat, memberikan sebuah ciuman singkat di pipi gadis itu. Oh, tentu saja Rose tak terima dengan apa yang Jungkook lakukan padanya. Namun yang gadis itu lakukan hanya diam, memberikan raut wajah kesalnya pada Jungkook yang sudah berlalu dengan sebuah senyuman kemenangan di wajahnya.

Rose menghela napasnya. Tak tahu mengapa ia harus terjebak dalam situasi menyebalkan seperti ini. Bahkan gadis itu selalu saja berdoa setiap hari, jika kedua orangtuanya bisa membuka mata dan mengetahui jika Jungkook itu bukanlah orang yang tepat untuknya, sehingga nanti perjodohan di antara keduanya batal begitu saja.

Lalu sebuah rangkulan ia terima di menit selanjutnya. Rose menganggap jika itu adalah Jungkook yang kembali ingin membuatnya kesal. Namun tangannya yang sudah bersiap akan menepis lengan yang merangkul itu terhenti ketika mendapati jika itu adalah Lisa. Pun dengan Jennie dan Jisoo yang kini juga ikut mendekat padanya.

"Tidak usah kau pikirkan lagi. Kau tahu bagaimana sifatnya."

Rose hanya bisa menghela napasnya ketika mendengar ucapan Lisa. Pun dengan gadis itu yang seolah kini tengah menguatkannya dengan rangkulan yang Lisa lakukan padanya.

"Pria itu benar-benar sangat keras kepala. Padahal, aku sudah memperlihatkan padanya foto dirimu dan pria itu. Mengatakan jika pria itu adalah kekasihmu. Tapi tetap saja dia tak percaya."

"Jimin Oppa memang bukan kekasihku, Jen. Tapi aku berharap, jika dia akan menjadi kekasihku. Kau harus tahu jika dia berharap untuk bertemu denganku lagi. Hah, tak sabar untuk bertemu dengannya. Jika perlu--"

Ucapan Rose terhenti begitu saja, ketika dirinya mulai mengingat sesuatu. Menepuk keningnya seolah mengutuk kebodohannya saat ini.

"Sial, aku lupa untuk meminta nomor ponselnya. Sekarang, bagaimana aku akan bertemu lagi dengan Jimin Oppa?"

Ketiga gadis yang mendengar ucapan Rose menunjukkan reaksi yang sama saat ini. Membuat Rose menatap ketiganya dengan bingung.

"Wae? Kenapa kalian menatapku seperti itu?"

"Sebenarnya, sudah sampai mana kau dengan pria itu, huh? Kau bahkan sudah memanggilnya dengan panggilan oppa?" Ucap Jisoo. Memaksa Rose untuk menatapnya.

Rose mendecak sebelum menepis perlahan tangan Jisoo yang memegang wajahnya. "Dia memang lebih tua dari kita. Itulah mengapa aku memanggilnya dengan oppa."

"Rose, sepertinya masih banyak yang harus kau ceritakan pada kami."

.

.

"Aku sudah hampir sampai, eomma. Tunggulah sebentar lagi."

Jimin mematikan panggilan dari Ibunya itu terlebih dahulu. Memilih untuk semakin mempercepat langkahnya atau ia akan mendapat panggilan lain dari Ibunya itu.

Hingga ia telah sampai di tujuannya. Maka pemuda itu tak membuang waktu dan memilih untuk membuka pintu kamar inap di depannya.

"Akhirnya kau datang juga."

Jimin memilih untuk mendekat pada sang Ibu di sana yang terbaring di ranjang rumah sakit itu. Menarik satu kursi untuk ia bawa mendekat dan duduk di sana.

"Kenapa baru jam segini kau datang? Eomma kira terjadi sesuatu padamu di luar sana." Ucapnya sembari kini beranjak dari berbaringnya.

"Kenapa eomma bangun? Berbaring saja lagi."

"Eomma tak apa. Katakan dulu kenapa kau terlambat datang."

Jimin tak menjawabnya langsung. Sementara pandangannya beralih pada nampan berisi sarapan pagi untuk Ibunya yang diletakkan di meja nakas. Pria itu menghela napasnya, sebelum mengambil nampan itu.

"Eomma belum memakan sarapannya? Eomma keterlaluan. Ini bahkan sudah lewat jam sarapan eomma."

"Eomma tidak akan mau sarapan jika kau bahkan belum datang kemari."

"Dimana appa?"

"Ayahmu belum kemari. Dia bilang dia masih harus mengurusi segala keperluannya di kampus."

"Maksud eomma, appa benar-benar akan resign dari mengajarnya?"

"Tidak. Tapi dia menyuruhmu untuk menggantikannya."

Jimin tentu saja terkejut mendengarnya. Apalagi gerakannya terhenti saat dirinya mengupas kulit dari buah jeruk yang ia genggam sebelumnya.

"Aku? Tapi kenapa?"

"Kenapa tidak? Ayahmu mungkin menganggap jika dirimu mampu untuk menggantikannya. Lagipula, kau belum memiliki pekerjaan kan untuk saat ini? Kau selalu saja keluar bersama dengan teman-temanmu itu dan melakukan hal-hal yang tak berguna."

"Eomma, memotret bukan hal yang tak berguna. Yang terpenting adalah aku melakukan apa yang ku suka. Aku bahkan tak pernah mengajar apapun sebelumnya."

"Kau tampak menyedihkan, Jimin."

Ucapan Ibunya membuat Jimin bingung saat ini.

"Apa maksudmu, eomma?"

"Eomma tahu, jika kau sering sekali keluar dan bahkan menginap di studiomu itu karena suatu alasan. Dan itu pasti--"

"Eomma, aku tidak ingin membahasnya lagi. Dan jangan lagi ucapkan nama itu di depanku. Aku terlalu muak hanya untuk mendengarnya."

Ny. Park menghela napasnya. Dimana Jimin memilih untuk kembali melanjutkan untuk mengupas kulit jeruk bagi Ibunya.



--To Be Continued--

Lil' TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang