Part 2

34.3K 2.5K 112
                                    

"Kayla?" Kulihat ia menegang. Mencurigakan.

"Kay? Lo tau siapa orang tadi?" Tanyaku.

"Enggak! Gue nggak tau. Sumpah!" Kayla mengacungkan dua jarinya sambil bersumpah. Gelagatnya memang panik, tapi sorot matanya memang mengatakan ia tidak bohong. "Mungkin itu adek kelas yang fanatik sama gue kali. Buktinya dia bawa-bawa coklat gitu."

"Jadi maksud Lo, dia ikutin Lo sampe kesini dan nguping semuanya?" Tanyaku lagi. Ia mengangkat bahu.

"Udah! Menduga-duga adalah hal yang tidak ilmiah. Sebaiknya kita pulang, trus kita Catet beberapa kejadian yang akan terjadi besok. Lalu kita buat hipotesis, setelah itu kita..."

"Lo mau buat cerita detektif apa mau bikin karya tulis ilmiah, Hah?," aku menyela omongan Alfian. Sudah ku bilang omongan dia itu membosankan.

"Kalian pada ngapain disana?" Suara itu berbunyi dari belakang kami semua. Suaranya berat dan serak. Kami hapal betul suara itu. Suara langka mirip Pak Maman--Penjaga sekolah Galak yang memergoki kami berada di gedung ini. "Tunggu kalian. Akan saya laporkan ke guru BK!"

Kami menatap satu sama lain. "Guys," Dewi memberi kode melalui mata. "LARI!" kami pun berlari bersama. Sial! Pintu besi yang biasa kami lewati tertutup. Kami terpaksa harus memanjat. Sudah kubilang kan aku penjaga mereka? Jadi aku yang terakhir naik. Tapi Pak Maman semakin dekat. Sialnya si jago sains itu takut memanjat. Ia masih berada di atas pagar dan takut turun.

"Alfian! Turun buruan! Gue mau naik woy!" Aku geram. Ternyata ia begitu penakut. "Gue sama Putra mau kabur juga!"

"Sher, lebih baik Lo cari jalan lain. Waktu yang lo perluin buat kabur itu sedikit. Lo liat kecepatan berlarinya Pak Maman. Jarak dia yang nggak jauh dari kita. Momentum nya nggak pas. Menurut rumus, mencari waktu itu jarak dibagi kecepatan. Dan waktu Lo cuma 10 detik," jelasnya. Sumpah. Itu tidak penting. "Gue takut turun, tolongin gue!"

"Cerewet, lo!" Decakku. "Loncat aja sana. Nggak bakal mati!" Aku kesal. Kemudian dengan tiba-tiba Putra menarik lenganku dan mengajakku berlari lewat samping. Kami berlari cukup lama. Dan ketika melihat ke belakang, Pak Maman tidak mengejar. Sepertinya Alfian yang menjadi umpan.

"Tenang. Pak Maman sudah tidak mengejar. Ini pasti si penguping itu yang memberi tahu tempat basecamp kita," ucap Putra terengah-engah. "Sialan!"

Wow, aku baru pertama kali melihatnya mengumpat. Mengesankan.

"Kita mau kabur lewat mana?" Tanyaku yang masih mengatur napas.

"Kita nggak tahu jalan lain. Yang menghubungkan gedung ini sama sekolah itu cuma pintu besi itu! Mau tidak mau kita harus balik ke sana," bisiknya. "Gue rasa Pak Maman udah pergi, deh."

"Kalau begitu ayo cepat kabur!"

Syukurlah, Alfian tidak bisa turun dan menjadi umpan. Pak Maman sudah tidak ada di tempat. Dewi dan Kayla pun berhasil kabur. Begitu juga aku dan Putra. Tetapi kami belum bisa pulang. Aku dan Putra harus melewati sekolah yang dijaga satpam. Kalau aku ketahuan pulang sekolah telat, Pak Adam yang cerewet itu pasti marah. Kami--aku dan Putra--melewati ruang UKS dengan santai, karena memang sudah sepi disana. Tiba-tiba kami mendengar suara derap langkah kaki yang mendekati. Putra menarikku lagi untuk bersembunyi. Dia adalah Pak Ilham, sang kepala sekolah dengan Pak Adam yang sedang mengobrol. Wajah mereka ketakutan. Samar-samar mereka berbicara.

"Pak Ilham. Saya tidak tahu kenapa menjadi seperti ini. Baru sebulan ini pak, telah ada tiga siswa yang meninggal. Kalau Minggu lusa, satu siswi kelas sepuluh diduga kepeleset di toilet lama sekolah dan kepalanya terbentur lantai. Itu masih masuk akal. Minggu lalu juga seperti itu. Dugaan yang sama, kepeleset. Tapi kali ini parah, Pak! Ada bekas cengkraman di sekitar telapak tangan siswi kelas dua belas ini. Ini sudah masuk kasus pembunuhan," Pak Adam menjelaskan. "Sore ini, polisi akan datang kesini. Memeriksa TKP, kasus tragedi di toilet ini sudah tidak bisa lagi ditutupi, pak. Warga sekolah pasti akan tahu. Kita tidak bisa menyembunyikannya terus! Para guru pun sudah mulai ketakutan. Orangtua para korban tidak terima dan menuntut sekolah ini untuk ditutup. Karena mereka yakin anaknya dibunuh dan pembunuhnya belum tertangkap."

"Tenang, Pak Adam. Biarkan polisi itu memeriksa TKP nya. Saya kira kalau kita tidak membolehkan maka banyak pihak yang curiga. Tetap rahasiakan sejarah sekolah ini pada siapa pun. Besok umumkan agar kita melaksanakan Apel pagi. Saya akan meliburkan seluruh siswa sampai kasus ini selesai," Pak Ilham menjawab dengan tenang. Namun ia terlihat melamun sebentar. "Saya tidak mau mengambil resiko. Pasti banyak anak-anak yang penasaran dengan libur yang tiba-tiba ini. Dan besok mereka akan tahu semuanya. Jika benar terjadi pembunuhan, saya rasa memang sudah waktunya sekolah ini ditutup."

Mereka berjalan menjauhi tempat aku dan Putra bersembunyi. Setelah agak lama, kami keluar dari tempat persembunyian. Putra memandangku lama, sorot matanya tak bisa ditebak. "Anggap kita tidak mendengar apapun. Dan jangan beritahu yang lain, termasuk Alfian, Dewi, dan Kayla." Ucapnya serius.

"Kenapa?"

"Karena gue yakin, salah satu dari mereka ada yang bermulut bocor." Matanya masih menatapku. Atau menatap sesuatu di belakangku? Entahlah.

Aku tertawa, "Alfian maksud Lo? Dia walaupun bawel tapi enggak ember kok. Dia bisa dipercaya. Lagian Lo kenapa sih, daritadi tegang banget mukanya?"

"Kita diawasi." Tubuhku menegang seketika. "Orang yang sama dengan penguping tadi."

Spontan aku menengok ke belakang. Benar, ia berlari menjauhi kami. Aku melihat tubuh bagian belakangnya. "Kalau begitu ayo kejar dia, dasar bodoh!"

"Nggak perlu," Putra menahan tanganku. Aku hampir saja memeluknya. Sepertinya dia bukan pria lemah seperti Alfian. Otot tangannya kuat sekali. "Gue tau siapa orang itu"

"Siapa dia?"

"Glen," ia mematung. "mantan pacar Kayla."

***

Tragedi Toilet Sekolah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang