Chapter 2

38 7 2
                                    

Dengan pikiran dan hati yang sangat lelah, Sera berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang guru. Pekikkan beberapa orang yang tidak sengaja di tabrak bahunya oleh Sera tidak ia pedulikan lagi. Tujuannya hanya satu. Ke ruang guru.

Saat ruang guru mulai terlihat oleh matanya Sera seketika tertegun, dan berhenti melangkah. Otaknya berputar mengulang kejadian yang terjadi dari awal sampai berada di sini, hanya dua ruangan lagi dan Sera sampai pada tujuannya. Namun lagi-lagi harus menelan pil pahit karena Sera tidak tahu siapa orang yang ia cari. Seketika Sera merasa marah dan emosi. Tapi Sera adalah anak yang sabar. Maka dari itu, dengan bibir yang ia paksa tarik Sera mulai balik menuju kelasnya. Kelasnya yang di rindukannya.

...

Mungkin banyak yang mengira bahwa Sera adalah anak yang pendiam dan mudah di tindas. Namun saat Sera merasa bahwa apa yang di depan matanya tidak lagi benar, jiwa iblisnya seakan meronta ingin keluar.

Seperti saat ini. Sera melihat Ibunya sendiri di tarik paksa oleh Ayahnya. Ayahnya yang tidak berguna. Saat orang lebih merasa nyaman di rumah. Sera tidak. Sampai Sera kebingungan dimana tempat seharusnya ia berada. Sera kehilangan semuanya. Dimulai masa kecil yang terpaksa Sera korbankan karena saat itu ia malah menjadi tukang asongan di lampu merah. Sampai saat ini, di masa SMA nya yang seharusnya Sera bisa bermain menikmati masanya, namun apa daya. Sera hanya manusia yang sedang menjalani peran Sang Pencipta. Mau mengeluh rasanya malu, ia sudah melewati yang lebih parah dari ini.

Sera berlari cepat-cepat ke arah Ibunya, lalu mendorong Ayahnya dengan sekuat tenaga dan emosi. Sera manarik tangan Ibunya dan membawanya ke belakang punggungnya. Ayahnya yang tak terima di perlakukan seperti itu oleh Sera seketika marah dan mengamuk. Membanting botol minuman sialan itu dan berteriak seperti kerasukan. Dengan mata yang memerah Ayahnya berteriak "Sera!, kurang ajar lu jadi anak, berani-beraninya dorong gue sampe jatoh. Dasar anak gatau di untung".

Sera hanya mendengus jijik melihat Ayahnya seperti itu. Apa-apaan katanya? Tidak tahu di untung? Dari awal Sera lahir, sampai saat ini Sera tidak tahu apa yang bisa ia untungkan di hidup sialan ini. Ia sendirian. Saat Sera sakit dan patah, ia selalu sendirian. Tidak ada teman, saudara, atau bahkan Ibu dan Ayah. Untung Sera belajar agama yang mengajarkan sejelek apapun kelakuan Orangtua mu mereka tetap bagianmu.

"Ayah, Sera capek, mau makan terus tidur, Ayah kalo mau kasar sama orang, pilih-pilih Yah, jangan sama Ibu, kasian, nanti Ibu sakit, dan kalo Ibu udah sakit, Ayah bakalan kasarin siapa lagi?". Sera bergegas menarik tangan Ibunya untuk masuk rumah. Membanting pintu di depan muka Ayahnya yang terkejut dan menarik Ibu ke kursi meja makan. Membuka tudung saji dan mengambil makan untuk Ibunya yang kurus.

"Bu, Sera tadi pagi sempet masak. Lumayan lah nih walau cuma tempe. Makan ya Bu, kalo Ayah minta di bukain pintunya jangan di kasih". Sera berbicara sambil menuang air kedalam gelas, setelah itu memberikannya kepada Ibu yang menerima piring dengan tangan bergetar. Saat manik mata yang berkaca-kaca itu bertemu milik Sera. Segera Sera membuang muka. Enggan berlama-lama. "Sera mandi dulu Bu".

Dan dengan itu ia mengakhiri perjumpaan hari ini dengan Ibunya.

...

Sera sedang membaca buku dan dikejutkan oleh nada dering handphonenya yang nyaring. Sera melempar bukunya ke kasur dan segera mencari handphone. Ia lupa terakhir kali memegang handphone dan membuatnya kelabakan saat handphone itu berbunyi. Setelah mencari kesana-kesini ia mendapati handphonenya ada di ruang keluarga. Sera angkat panggilan tersebut dan menunggu suara disana yang angkat bicara.

"Sera, lo disana?"

"..............................."

"Sera, please me, jawab gue"

"..............................."

"Sera, gue-"

Tut tut tut tut tut.

Sera segera mematikan panggilan itu tanpa sempat mendengar orang disana berkata. Sera selalu seperti ini. Terlalu berkubang dalam kepahitan membuatnya merasa selalu bisa melakukan apa-apa sendiri. Tanpa pernah berpikir bahwa banyak orang berusaha menerobos masuk namun terhalang tembok tinggi yang Sera bangun. Ia kadang berpikir. Mau sampai kapan ia begini. Sera bangkit menuju cermin kamarnya menemukan dirinya di cermin. Sera mengangkat jarinya menunjuk cermin sambil berkata; siapa lo, lo itu apa, apa isi otak lo. Namun lagi-lagi hanya Sera yang  tau jawabannya.

...

Menurut kalian part ini?

A/N: Hi teman-teman. Gue lagi rajin update karena gabut. Dan bingung mau ngapain. Karena gue lagi libur dan 'yes', bangun siang. Hahahaha. Tapi temen-temen sekali lagi gua mau bilang bahwa cerita ini adalah apa yang ada di otak cantik gue.

                                                                         Best regard

    

    

Sentimental ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang