Purnama I

721 32 2
                                    

Lirih, kugumamkan langgam Yen Ing Tawang Ono Lintang yang dulu selalu ibu senandungkan ketika menidurkanku, dengan harapan ibu merasa tenang dan tak merasa sendiri.

Tak pernah kuduga sebelumnya jika sosok wanita yang kukagumi karena ketangguhan, kesabaran, dan ketulusannya kini hanya mampu terbaring tak berdaya dan melakukan segala aktifitas harian di atas tempat tidur. Sudah 2 tahun ibu menderita stroke, dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah serangan jantung koroner yang menderanya setahun yang lalu.

"Pur ... Pur ...." Ibu mulai memanggil, mungkin mengira dia ditinggal sendirian, sekejap tadi aku sempat terlelap karena rasa kantuk yang tak tertahan.

"Dalem, Bu." Kaget segera kugenggam tangan ibu yang menggapai-gapai mencari pegangan. Kuperiksa diapersnya, jangan sampai ibu tidak nyaman karena popoknya penuh atau kotor karena buang air besar, dan ternyata aman, "Ibu mau minum?" tawarku.

"Ora, Ari mana?" inilah saat-saat yang paling aku tidak suka, ketika ibu mengabsen satu persatu anak lelakinya.

"Mas Ari kerja belum bisa pulang, Bu."

"Wawan?"

"Mas Wawan juga kerja, kan, kalau mau pulang harus ngurus surat ijin dulu, harus pesan tiket pesawat dulu, harus bawa duit banyak biar bisa ajak Ibu jalan-jalan." terpaksa aku berbohong, sambil menahan airmata yang sudah siap mengalir, "Ibu sekarang tidur lagi, ya, masih malam." Kubenahi selimut ibu dan memeluknya.

"Pur."

"Dalem, Bu."

"Indra yo belum pulang, to?"

Akhirnya tumpah juga airmata ini, bisa kurasakan betapa ibu sangat merindukan ke-3 putranya, dan hati ini semakin teriris perih karena nama terakhir yang ibu sebut  adalah sosok yang juga sangat kurindukan, bukan rindu layaknya seorang adik kepada kakaknya, tapi rindu sepasang kekasih. Rasa  yang tak wajar dan kurang ajar  menurut bapak, karena menurutnya kami adalah saudara yang pantang saling mencintai.

"Mas Indra, kan masih di Libanon, Bu, nanti kalau masa tugasnya selesai, mas pasti cepat pulang nengokin Ibu," hiburku.

"Pur ...."

"Ssst...ayo tidur lagi, Bu. Nanti kalau bapak dengar Ibu belum tidur, bapak bisa marah lho." Sambil berurai air mata kubimbing ibu untuk berdzikir hingga beliau kembali tertidur. Kucoba memejamkan mata, tapi fikiranku tak mau diajak kompromi, melanglang ke masa lalu, pada perjalanan hidup yang mirip sinetron, saat di mana hampir tiap hari aku harus menerima siksaan dan makian dari mereka yang harusnya menyayangi dan melindungiku, hingga akhirnya terdampar di sudut terminal, dengan kondisi tak ubahnya seperti gembel.

Kentongan yang ditabuh para peronda menunjukkan pukul 2, pagi masih jauh. Hingga kurasa semilir angin berhembus menerbangkan tirai jendela kamar, samar-samar kulihat bayangan sesosok gadis dari balik kaca jendela  melambaikan tangan, sayup terdengar dia memanggilku, "Pur ...."







Bersambung

Misteri Purnama di Lereng LawuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang