Purnama 2

616 32 6
                                    

Harum aroma bunga melati menyeruak memenuhi ruangan seiring kedatangan wanita cantik berwajah pucat yang dalam sekedipan mata sudah berdiri di ambang pintu kamar.

"Siapa kamu?" pelan aku beranjak dari tempat tidur. Kulirik ibu, memastikan dia tetap terlelap. Sudah beberapa kali mahkluk yang sekarang menatap dengan sorot mata dingin ini datang. Selama ini sengaja aku abaikan dia, karena takut dan tidak mau berurusan dengannya.

Tanpa menjawab pertanyaanku, dia berlalu. Pandangan matanya mengisyaratkan agar aku mengikuti kemana dia pergi.

Pelan kututup pintu kamar, meraih jaket yang tergantung di sisi lemari dan segera mengejarnya. Rasa penasaran yang bertahun-tahun mengendap di otak mengalahkan rasa takut dan logikaku. Terlalu banyak misteri di rumah ini, dari ibu yang setiap adzan berkumandang berteriak-teriak seperti orang ketakutan, suara anak-anak kecil yang tertawa atau menangis tanpa ada wujudnya, meninggalnya mas Ari secara misterius, menghilangnya mas Wahyu tanpa jejak, dan rintihan suara wanita pada malam-malam tertentu dari arah kamar tamu, padahal setahuku hanya kami bertiga yang tinggal di rumah ini.

Angin dingin yang bertiup dari arah bukit Kemuning tak menyurutkan langkahku untuk terus mengikuti sosok yang kuyakin bukanlah dari bangsa manusia. Suasana dinihari itu begitu senyap, tak satupun kudengar suara binatang malam yang biasanya ramai ketika musim hujan seperti saat ini.

Langkahku semakin jauh meninggalkan perkampungan, mulai menyusuri jalan menanjak dengan jurang dikanan dan kirinya. Sempat muncul rasa khawatir.
'bagaimana kalau mahkluk ini menculik dan membawaku ke alamnya?'

Hufff ....
Bodohnya aku, harusnya tadi kutanya dulu dia mau mengajakku kemana.

Area perkebunan teh adalah rute perjalanan kami selanjutnya. Sejauh mata memandang hanya hamparan pohon teh yang nampak. Mahkluk itu terus berjalan, ehm tepatnya terbang, karena kulihat kakinya tidak menyentuh tanah.

"Aku lelah, masih jauhkah?" tanyaku. Berharap dia mau sedikit berbaik hati mengajakku istirahat atau sekedar berbicara agar suasana tidak terlalu mencekam. Tapi jangankan menjawab pertanyaanku, menoleh pun tidak.
'Dasar hantu sombong,' seperti membaca isi fikiranku tiba-tiba saja mahkluk itu berbalik dan menatapku dengan tatapan mata aneh, seakan ingin berkata, "lambemu iso meneng, ora?" ("bibirmu bisa diam, tidak?")

Aku cuma bisa nyengir menangkupkan kedua tangan sebagai bentuk permintaan maaf, dan kami melanjutkan perjalanan yang entah kapan sampainya.

Setelah melewati perkebunan teh, kini kami menyusuri jalan setapak di tengah hutan pinus, tetap masih dengan medan yang naik turun. Angin yang berhembus meniup pucuk-pucuk pinus menimbulkan suara yang membuat nyaliku ciut, 'ayolah, Pur, buang rasa takutmu.' Kucoba menghibur diri dengan menyanyikan lagu Naik ke Puncak Gunung, lumayan menghibur apalagi ketika samar kudengar si mahkluk kasat mata di depanku juga turut bersenandung.

"Tau gitu dari tadi kita nyanyi bareng, Mbak."
Nekat, aku mengajaknya berbicara, tapi begitu mendengar ocehanku, dia langsung terdiam.
"nyanyi aja lagi, Mbak, gak usah malu-malu," kutahan tawa takut dia marah dan meninggalkanku di tengah hutan pinus ini.

Setelah menempuh perjalanan jauh yang menguras energi, akhirnya kami sampai di sebuah gapura. Dari bentuknya aku menduga itu adalah pintu gerbang komplek candi Hindu.

"kita udah sampai?"

Wanita itu mengangguk dan menunjuk ke arah candi, kuarahkan pandangan ketempat yang sama, "terus kita mau nga ...." Belum sempat kuselesaikan pertanyaan dan menoleh kearahnya, ternyata dia sudah menghilang.
"Wo lha, semprull kae memedi, aku malah ditinggal lungo." ("Wo lha, semprull itu hantu, aku malaj ditinggal pergi." Gerutuku.

Saat aku mulai menaiki anak tangga gapura, mencoba masuk kedalam candi, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundak, reflek aku menoleh, kagetnya serasa nyawa mau loncat dari hidung karena pada saat yang bersamaan, aku bersin.

Dihadapanku kini berdiri seorang lelaki yang sudah sepuh mengenakan baju seperti busana adat Bali, sepertinya  beliau adalah seorang Pinandita di candi yang lebih mirip bangunan Pura. Aroma hio yang dibawanya begitu menusuk indra penciuman seakan menghipnotisku hingga mata yang awalnya terang benderang tiba-tiba merasakan  kantuk luar biasa.

"Kamu siapa, Nduk?" tanyanya ramah.

"Kulo Purnama, Pak."
"Saya sekarang ada dimana nggih, Pak?"
Dengan kesadaran yang hampir ilang, aku berusaha mengorek informasi.

"Kamu di candi Arga, Nduk."
"Pulanglah, tempatmu bukan disini."
Tanpa memberiku kesempatan bertanya lebih lanjut tiba-tiba pak tua itu meniup mukaku.

Tubuhku terasa ringan, aku terlelap tidur, hingga akhirnya sayup-sayup terdengar bapak memanggil sambil menepuk- nepuk pipiku. "Pur, bangun, kae ibumu manggil, tidur mbok yo di kamar."

Ketika nyawaku sudah terkumpul, baru aku ingat apa yang barusan terjadi, tapi bagaimana mungkin aku bisa berada di teras belakang? bukankah tadi aku berada di pintu gerbang candi Arga?

Segera aku beranjak hendak menemui ibu, tapi cekalan tangan bapak yang begitu kuat memaksa berhenti. Dengan sorot mata tajam dan  penuh selidik bapak berkata, "Ojo coba-coba, Pur."

Bersambung

Misteri Purnama di Lereng LawuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang