07. Kejujuran di atas Pasir

696 157 6
                                    

Aku berhasil membawa Irene bolos hari ini. Ini sebagai tindakan balas dendam atas dirinya yang membodohi aku tempo hari.

"Kau membawaku kabur meninggalkan mata kuliahku demi ke mari?" sesal Irene saat aku memberhentikan mobilku di pantai.

"Kau tidak suka pantai?" tanyaku heran. Biasanya para gadis akan merengek-rengek dibawa kemari.

"Tidak suka, tidak benci," jawabnya singkat. Dia melepas alas kakinya dan berjalan di atas pasir dengan kaki telanjang.

Aku sedikit takjub dengan cara Irene menghindari mataku. Dia bersungguh-sungguh tidak ingin melihat diriku. Semirip apa mataku dengan seseorang yang dia maksud sampai melihatku pun dia enggan.

Aku memperhatikan Irene sejenak. Profil belakang gadis itu mendadak tak asing bagi penglihatan. Seakan-akan aku pernah melihatnya sebelum pertemuan kami. Terlebih saat kepalanya menoleh ke kiri dan rambutnya yang digerai bergerak liar ditiup angin, keyakinanku soal pernah melihatnya semakin menjadi.

Mungkin aku mengada-ada. Otakku jadi lemah jika sudah menyangkut tentang gadis itu.

Tapi, sejauh ini. Aku tidak tahu apa-apa lagi soal Irene. Selain dia kembar dan punya seseorang yang matanya mirip denganku. Aku bertaruh itu mungkin mantan pacarnya. Selebihnya, aku tidak tau nomor ponselnya, umurnya, bahkan jurusannya.

Apa aku harus bertanya? Demi kelancaran pendekatan ini, sepertinya harus.

"Kau tampak menyukainya, bukan begitu?" celetukku menghampiri Irene yang tengah bermain dengan kelomang di atas pasir.

"Aku hanya teringat dengan penelitian yang aku lakukan dua tahun yang lalu. Hewan ini adalah objeknya," sahutnya seraya melepas kembali hewan bercangkang itu.

"Kau melakukannya di sini juga?"

"Tidak, aku dan kelompokku melakukannya di Jeju."

Aku lantas ber-oh-ria. Namun sedetik kemudian aku tersadar akan sesuatu.

"Kalau itu dua tahun yang lalu, maka kau ini lebih tua dariku?" aku terkejut. Sungguh, aku tidak pernah menduga hal ini.

"Benarkah? Kalau begitu, harusnya kau bersikap lebih sopan kepadaku," katanya sambil bangkit berdiri. Menepuk-nepuk tangannya guna menjatuhkan pasir.

"Aku lebih suka begini, kau juga terlihat tidak keberatan."

Irene hanya merespons dengan anggukan setuju. Gadis itu kembali menikmati angin pantai yang menyapu lembut wajah eloknya.

Sejenak terdiam dan terpaku pada garis horizontal di ujung sana, sesaat kemudian aku berucap, "Awal kita pertemu, kau bersikap biasa saja padaku. Kali kedua, kita tak bertegur sapa. Lalu yang ketiga, kau mendadak bertingkah clumsy padaku. Dan semakin lama, boleh ku katakan kau semakin berubah? Maksudku, kau seakan-akan menyembunyikan sesuatu."

Aku jelas menyadari tubuh Irene mendadak menegang. Mungkin karena tiupan angin atau akibat perkataan panjangku yang jujur mengenai sikapnya padaku.

"Kau terlihat acuh tak acuh?" tambahku lagi yang seketika membuat Irene menoleh dalam diam padaku. Matanya menyambut kedua irisku dengan dingin. Ini kali ketiga aku melihat langsung bola mata jernihnya.

"Apa kau sedang menghakimiku?" suaranya menusuk kalbu. Sudah kukatakan berulangkali, gadis itu kelewat sulit dimengerti. Terkadang dia begitu lembut dan memabukkan. Namun tak jarang sikapnya tajam dan penuh makna tersirat.

Kendati begitu, aku tetap mematut sebuah lengkungan tipis di wajahku. "Tidak, hanya mengungkapkan isi hati. Karena aku tidak mengerti dengan sikapmu yang berubah-ubah. Jujur, aku lebih suka dirimu di awal pertemuan kita. Kikuk dan sedikit polos."

Irene menurunkan pandangannya. Mengais-ngais pasir dengan ujung sepatunya. "Semua orang akan berubah. Tidak ada yang statis di dunia."

Jujur saja; semakin banyak detik berlalu, aku merasa sosok Irene terlihat semakin rapuh. Seakan-akan tubuhnya bisa hancur berkeping-keping jika dihantam ombak rendah di laut sana. Apa sebenarnya yang terjadi pada gadis ini setelah hari di mana hujan mengguyur Seoul kala itu?

Semenjak pandangan sendunya di saat kami berteduh di pos satpam. Semuanya mendadak berubah.

"Aku tidak pandai bermain teka-teki, Irene. Katakan padaku sebenarnya apa yang menganggu pikiranmu?" akhirnya aku memintanya menerangkan segalanya. Segala sesuatu yang menggerus isi hati dan kepalanya akhir-akhir ini.

Dia menggeleng kecut. "Memangnya apa yang terjadi? "

Aku meraup oksigen dengan rakus sebelum menaikkan nada bicara. "Kau terlihat frustasi akhir-akhir ini. Kau tidak terlihat baik-baik saja," tegasku seraya menatapnya langsung.

"Apa pedulimu? Kau dan rasa penasaran yang menyebalkan itu sejak dulu tidak pernah berubah!"

Aku berjengit. Sejak dulu? Apa maksud dari perkataan Irene?

"Aku ingin pulang sendiri." Irene menekan tiap kata yang dia lontarkan. Membuat aku yang masih kebingungan semakin terkejut dengan segala sesuatunya.

Refleks aku menahan pergelangan tangannya. "Tidak, kau datang bersamaku. Pulang pun begitu."

Irene menilikku tajam. Seolah-olah melupakan kebiasaannya yang selalu menghindar dari pandanganku. Dia menyentak tangannya. "Tinggalkan aku sendiri!"

"Bagaimana bisa aku meninggalkanmu sendiri di kondisimu yang seperti ini!" balasku dengan suara hampir naik seoktaf. Oh, ayolah. Aku membawanya kemari untuk bersenang-senang. Bukan untuk bersitegang.

"Cukup! Jangan bertindak sok peduli padaku. Memangnya kau ini--"

"Aku mencintaimu!"

Spontan dua kata penuh maksud itu terlontar olehku. Irene membeliak tak percaya. Dia memandangku seakan-akan aku ini mahkluk asing dari luar angkasa.

"Tidak, Oh Sehun. Tidak. Jangan lagi!" Irene menjerit yang semerta-merta membuatku terkaget-kaget. Kenapa semuanya jadi aneh?

Irene bergegas pergi dariku. Meninggalkan aku yang secara gamblang ditolak olehnya. Aku tepekur di tempat. Tidak bisa memahami sesuatu yang menghantam kepalaku.

Ini seolah pernah terjadi. Sungguh. Kepalaku mendadak pening. Sebenarnya, apa yang gadis itu sembunyikan? ⏤

HERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang