01. Pisau Cukur di Minimarket

2.7K 244 7
                                    

Impresi yang aku rasakan kala pertama kali bertemu dengannya sangatlah sederhana. Pertemuan kami yang berlangsung di sebuah minimarket 24 jam yang berada di dekat kamar kostku tidak akan mudah untuk aku lupakan.

Kepalaku menyimpan dengan jelas bagaimana ekspresi kebingungan yang tersemat di wajahnya. Kedua obsidian miliknya memandang bergantian pisau cukur yang digantung dengan rapi di rak.

Aku rasa saat itu dia begitu frustasi sampai menggigiti kukunya hanya karena pisau cukur.

"Aduh, bagaimana ini? Aku lupa merek apa yang Baekhyun sebutkan."

Dia menggerutu sendirian. Aku memperhatikannya hingga kerap melepas kekehan pelan. Dia pasti sangat memikirkan perasaan orang lain, sampai-sampai tidak ingin salah membeli pesanan.

Gemas dengan dirinya; aku lantas berjalan menghampirnya setelah mengambil sebotol minuman isotonik dari rak. Berdiri tepat di sebelahnya sampai dia bergerak menjauh tak nyaman.

"Apa ada yang bisa aku bantu?" tanyaku menawarkan jasa secara cuma-cuma. Aku tidak biasanya begitu. Aku tidak suka mencampuri urusan orang lain dan selalu bersikap acuh. Tapi kala itu, entahlah. Aku hanya tertarik melihat ekspresi lucu miliknya.

Dia terlihat tak percaya padaku. Seolah-olah aku akan menyakitinya detik itu juga. Tapi kembali kulempar sebuah kalimat dengan suara ramah. "Aku sarankan kau membeli yang ini. Di antara semua merek, ini yang terbaik."

Sorot matanya tiba-tiba berubah waktu itu. Binar senang yang berpendar di bola matanya yang jernih membuat bibirku mengukir lengkungan tipis.

"Ahh... Terimakasih banyak. Akhirnya aku bisa keluar dari tempat ini." Dia berucap sopan dan lembut. Aku menyadari saat itu kalau dia adalah gadis yang benar-benar sederhana. Berbeda dengan gadis-gadis yang biasa aku temui. Dia sangat simpel meski sedikit kikuk. Dan juga, dia memiliki aroma yang tidak bisa aku deskripsikan. Singkatnya, dia menarik.

"Kau menghabiskan waktumu demi pencukur itu?" tanyaku sekadar berbasa-basi. Lagipula aku begitu menyukai suaranya, sehingga ingin mendengarnya lagi.

Dia mengangguk mantap, kali itu menunjukkan sisi polosnya. "Iya, hampir setengah jam. Kasirnya pasti mengira aku penguntit."

Kami berjalan menuju meja kasir bersama. Aku kerap kali meliriknya. Penasaran dengan ekspresi apa yang akan dia pamerkan di wajah mungilnya.

"Aku minta sekotak rokok m." Aku bersuara meminta si kasir memberiku benda aditif yang menjadi teman di waktu senggang.

"Aku berniat untuk membayar minumanmu. Tapi aku tidak punya uang sebanyak itu untuk membayar rokok itu," ringisnya pelan. Dia bahkan tidak memandang mataku saat berkata seperti itu.

Saat itu, entah mengapa tawaku lepas. Dia sangat lucu dan kelewat lugu. "Tidak apa-apa. Lagipula aku membantumu karena aku mau," ujarku setelah tawaku reda.

Dia hanya tersenyum tidak enak. Bola matanya bergerak-gerak mencari sesuatu. Saat menemukan yang dia harapkan, irisnya melebar. "Aku akan mentraktirmu permen saja."

Entah mengapa saat itu aku tidak mencoba untuk menolak tawaran permennya. Setelah membayar barang masing-masing, kami berdua berbarengan keluar dari minimarket itu.

"Sekali lagi terimakasih, ya," katanya seraya membungkukkan tubuh. "Kalau begitu, aku duluan," tambahnya lalu menarik diri dari hadapanku.

Aku tak mengucapkan apa-apa selain sibuk memandang dirinya yang bergerak menjauh. Aku bahkan masih sempat melihatnya berjongkok untuk mengikat tali sepatu.

Begitulah awal pertemuan kami. Sederhana dan nyaris tak meninggalkan kesan apa-apa selain aku yang masih menyimpan bungkus permen yang dia berikan padaku.

Dan siapa yang menyangka; dua minggu kemudian, tepatnya hari ini. Takdir mempertemukan kami kembali. Sekali lagi di minimarket yang sama. Dia lagi-lagi kebingungan. Dan sosok dirinya entah mengapa amat aku rindukan. ⏤

HERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang