-Awali dengan Bismillah akhiri dengan Alhamdulillah-
🍃🍃
"Mengapa aku dianggap berbeda? Apa salahku, aku juga ingin mendapat kasih sayang dari ibu, sama seperti kedua saudaraku."
Indahnursf~
-TERSIRAT-
🍃🍃
"Zanayya."
Aku tersenyum ke sumber suara. Aku langsung memeluknya. Rasa rindu semakin membuatku haru saat bisa kembali melihatnya.
"Apa kabar, Dek?" Wajahnya terlihat bahagia. Aku kembali memeluknya. Rasa rindu berhasil membuatku menitikkan air mata.
Ah, rasanya tidak ingin berpisah lagi dari anggota keluarga. Ingin agar selalu berkumpul bersama. Suka duka di jalani bersama.
Semoga saja Allah selalu mengizinkan kami untuk selalu bersama. Tumbuh dan besar dalam satu atap.
"Alhamdulillah, baik Kak. Kakak apa kabar? Oh iya, selamat ya, Kak," ucapku, kemudian aku kembali memeluknya.
"Kakak baik. Ibu sama ayah mana?" tanyanya. Aku langsung menunjuk ke arah seberang. Di mana ada mobil ayah terparkir di sana.
Sesuai dengan rencana, ayah membuat kejutan kecil untuk kak Zanira. Ayah menyiapkan banyak hadiah di dalam mobil untuk kak Zanira, dan dibantu oleh ibu.
"Zatifa. Kakak merindukanmu." Kak Nira memeluk Tifa dengan haru. Aku ikut memeluk mereka, aku juga merasa haru.
"Ibu, Ayah." kak Nira kembali menangis, dia memeluk ayah dan ibu. Aku dan Tifa tersenyum. Aku bahagia, sangat bahagia. Akhirnya seluruh anggota keluargaku kembali berkumpul.
"Welcome back to Indonesia, Dear." ucap ibu.
🍃🍃
"Nayya. Kamu itu kalau bekerja jangan ceroboh. Lihat tuh, gulanya tumpah semua. Aduh... semakin pusing saya di rumah ini." Ibu membentakku. Aku terdiam, semua memang salahku. Seharusnya aku tak membiarkan Tifa membuat teh sendiri. Harusnya aku tetap mengawasinya.
Ah! Aku bodoh. Ibu kembali marah padaku.
"Ma--af, Bu." Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Sungguh, aku benar-benar ceroboh.
"Sudah. Bereskan sana," titah ibu. Aku mengangguk dan kembali membereskan gula yang berserakan.
"Kak Nayya. Maafin Tifa. Ini salah Tifa, karena Tifa Kak Naya dimarahin Ibu. Maaf." Zatifa langsung membantuku membereskan dapur.
Jujur, aku tidak marah padanya. Aku semakin tersentuh melihatnya meminta maaf dan merasa bersalah. Mungkin, dia tidak sengaja melakukan ini. Aku paham dengannya. Adikku ini baik, sangat baik.
"Iya, tidak apa-apa kok. Sudah, masuk kamar sana. Jangan lupa belajar, PR di kerjain ya," ucapku mengingatkannya. Tifa hanya mengangguk, kemudian kembali ke kamarnya.
Setelah selesai membersihkan dapur. Aku menuju kamar kak Nira. Aku rindu padanya. Setelah ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, rumah menjadi sepi.
Kak Nira pulang hanya saat waktu liburan, atau setiap semester seperti saat ini. Aku sebenarnya ingin nanti kuliah di luar negeri juga, seperti kak Nira, namun, aku tahu, ibu pasti tak memberiku izin.
Lagian, aku pasti tidak sanggup jika harus berjauhan dengan ayah. Ayah-lah yang selalu memberiku semangat. Ah ayah. Dia cinta pertamaku.
Buarrrrr
KAMU SEDANG MEMBACA
TERSIRAT
SpiritualKebahagiaan? Sudah berakhir bahkan saat belum sempat aku memulainya. Entah apa yang harus aku lakukan di saat semua mimpi dan cita-citaku hancur dengan semua rasa kecewa yang harus aku terima. Kegelapan. Kesunyian. Kehampaan. Penderitaan. Dan, air...