"Matcha latte for Aletta......"
Seorang barista menampakkan kerut di sudut matanya sembari menyimpan secangkir matcha latte di depan meja yang disinggahi seorang perempuan berambut panjang kecoklatan. Kulit putih membuat wajahnya terlihat bercahaya layaknya malaikat yang menjelma.
Gadis itu menoleh sembari membalas senyum dari barista yang sudah tak asing lagi baginya. Aletta menyeruput hot matcha latte lalu kembali fokus dengan layar laptop dihadapannya. Ia mulai menyusun kalimat kalimat baru, meneruskan novel yang sudah ia mulai tulis sejak seminggu yang lalu.
Lampu lampu mulai menampakkan warna warni cahayanya. Menyapa hadirnya senja yang telah kembali pada biru langit, lalu perlahan pergi lagi. Angin mulai menyelimuti tubuh Aletta yang masih saja terdiam di kursi yang sama seperti senja senja sebelumnya. Sejenak ia menghentikan jemarinya, menoleh ke jendela. Mengamati jalanan kota yang ramai oleh lalu lalang kendaraan. Ia bersandar sembari menghembuskan nafas perlahan.
"Aletta.. Lo nggak bosen apa tiap hari kerjaannya ngetik mulu. Dari tadi gue perhatiin lo nggak ngomong ngomong Ta. Ajakin ngobrol kek pacarnya".
Ucap Ben yang sedari tadi memperhatikan Aletta di hadapannya.
"Ya ampun Ben, sorry gue nggak ngeh lo disini"
"Yaudah sekarang lo nyadar kan gue disini."
Aletta menatap lelaki itu. Kemudian menutup laptopnya dan memasukkannya kedalam tas. Ia kembali menatap lelaki itu.
"Nah gitu dong." Ben tersenyum."Ben gue mau ngomong serius sama lo".
"Kapan sih lo bisa bercanda Ta. Lo sih emang serius dari lahir".
"Ben". Aletta menegaskan nada bicaranya.
"Iya Aletta pacarku yang cantik".
"Kita udahan aja ya". Ucap gadis itu tanpa terlihat ada beban sedikitpun untuk mengatakannya.
"What? Lo kesurupan apa Ta tiba tiba mutusin gue?"
"Gue serius Ben". Lagi lagi ia mengatakan tanpa ekspresi yang mudah ditebak dan dengan nadanya yang datar.
"Ta. Gue tau kita pacaran bukan karena saling cinta. Cuma karena saling butuh supaya gaada lagi yang ngejar2 kita. Tapi jujur dalam waktu satu tahun gue udah sayang sama lo Ta. Gue beneran sayang sama lo". Lelaki itu mulai berkaca kaca.
"Sorry Ben tapi gue capek bohong sama semua orang. Bohong sama diri sendiri kalau gue gak cinta sama lo". Kali ini ia bicara dengan hati hati agar tak melukai perasaan pacar yang baru ia putuskan itu. Meski nyatanya Ben sudah sakit hati.
"Ta.. kenapa lo tiba tiba mutusin gue sih? Gaada tanda tanda hujan angin badai, kenapa?". Lelaki itu mulai mengatur nafas.
"Ya karena kita emang gak saling cinta kan?"."Hujan selalu memberi tanda mendung sebelum turun ke bumi Ta. Malam selalu memberi tanda senja sebelum ia datang. Tapi lo? ."
"Apa angin selalu memberi kabar sebelum ia datang Ben?"
Lelaki itu terdiam.
"Ternyata lo sama kaya angin. Lo dateng bikin gue sejuk. Sampai akhirnya gue sadar lo gk bisa gue genggam. Lo pergi gitu aja Ta". Kali ini nada bicaranya terselip emosi.
"Ben. Perjanjian kita dari dulu gaada yang namanya saling mencintai kan. Hubungan kita cuma pura pura. Lo ingkar Ben".
"Daripada lo yang nggak punya perasaan!"
Atta terdiam. Menatap tajam pada Ben yang juga ikut terdiam.
"Makasih lo udah buktiin bahwa lo emang nggak pantes buat gue."
Aletta berlari meninggalkan cafe bersama air mata yang mengalir di pipinya. Gadis yang terkenal cuek, dewasa dan sulit ditebak itu berjalan menyusuri jalan, meninggalkan tanya yang tak kunjung ada jawabnya. Ben menelephone Aletta berkali kali namun tak ia angkat juga. Aletta kembali ke rumah. Merebahkan dirinya diatas bentangan kapas yang terbentang luas. Menatap langit atap yang remang remang terhalang butiran air mata yang membanjiri wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA
Non-FictionDiam adalah bahasa yang terlalu berharga untuk diutarakan dengan kata. Adalah rasa yang tertata tanpa pilar untuk mengkokohkanya. Adalah makna yang terjerat oleh asa dan logika. Bicara? ini bukan perihal ketakutan untuk bersuara. Ini tentang kapal y...