Menyongsong Pagi

21 0 0
                                    

Tubuhku sedang berdiri ditengah hiruk pikuk keramaian, tapi bukan ditengah kota. Tempat ini adalah termasuk daerah pinggiran yang bermetamorfosis menjadi daerah layaknya ibu kota. Lalu lalang kendaraan di setiap pagi hingga malamnya seakan tak pernah putus - sudah sangat menyerupai Ibu kota negeri ini. Tak heran jika daerah ini menjadi sangat panas walaupun masih sangat pagi karena pepohonan sudah jarang-jarang, sedangkan kendaraan semakin berlalu-lalang.

Kampus. Ya, begitulah orang-orang di kota ini menyebutnya. Nama daerah ini sebenarnya adalah Boto Akur, namun pembangunan sebuah universitas terkemuka di daerah ini memunculkan julukan khas tersendiri. Boto Akur saat ini telah sesak dengan bangunan tinggi pencakar langit, daerah pertokoan, kafe, dan kerumunan mahasiswa di setiap malamnya. Sungguh sangat berbeda dengan disaat masa kecilku dulu. Daerah ini terlihat sangat sepi, apalagi di malam hari. Yang terlihat di pagi hari hanyalah para petani yang mengayuh sepeda atau berjalan kaki menuju sawahnya dengan membawa peralatan taninya. Yang terlihat di siang hari hanyalah wajah-wajah lelah yang sedang menikmati santapan siang ditengah sawah. Yang terlihat di sore hari hanyalah segerombol anak kecil yang tertawa riang menuju tempat mengaji. Dan ketika tiba malam hari, daerah ini bak sebuah kota mati - sepi sekali.

"Tit tit... Lihat-lihat woy !!"

Aku tersentak.
Seorang bapak menoleh kearahku dari atas sepeda. Saking asiknya bernostalgia tentang tempat ini, aku sampai tidak sadar bahwa posisiku saat ini membingungkan para pengendara - seakan mau menyebrang, tapi seakan tidak. Hehe..

UNIVERSITAS BHAKTI NUSA.
Ukiran berukuran 3m × 1,5m itulah yang aku temukan sesaat setelah sampai diseberang jalan. Sejenak aku melirik jam tangan yang melingkar manis pergelangan tangan kiriku. Pukul 07.40 WIB. Lagi-lagi aku tersentak. Dua puluh menit lagi aku harus sudah siap sedia didalam kelas, sedangkan aku belum tahu dimana kelasku, ditambah lagi gedung yang aku tempati cukup jauh dari pintu utama. Tanpa aba-aba lagi, aku ngacir seperti dikejar setan.

Jam 07.50 WIB. Aku tertawa sendiri begitu melihat jam tanganku. Bayangkan saja...gedung yang seharusnya ditempuh selama 15 menit dengan berjalan kaki, aku hanya menghabiskan waktu 10 menit untuk sampai di gedung ini. "Tahun depan aku ikut Kejurnas lari maraton aja ah," pikirku menghibur diri.

Sepuluh menit waktu yang tersisa tidak lagi aku sia-siakan. Papan pengumuman yang ada di pinggir lapangan masih di-kerubungi. Lagi-lagi aku lari terbirit-birit. Suara riuh semakin jelas terdengar saat bel peringatan untuk memasuki ruangan berbunyi, sedangkan aku belum juga berhasil menembus kerumunan ini. Aku terus mencoba menyela masuk diantara mereka. "Yes, alhamdulillah akhirnya.." batinku setelah berhasil melihat jelas daftar nama yang tertempel di papan pengumuman.

Aku kembali bingung. Didepanku ada sekitar 25 kertas yang isinya lebih dari 1000 nama. Otakku berputar cepat - mencari cara agar aku bisa menemukan namaku dalam sekejap.

Mataku tiba-tiba berbinar. Aku harus bisa menemukan berkas yang berisi nomor pendaftaran dengan cepat didalam tasku, karena dengan begitu akan lebih mudah menemukan namaku di papan pengumuman ini. Sambil komat-kamit kayak Mbah Dukun baca mantra, aku berhasil menemukan namaku.

"Nur Isnaini Ardianti.." gumamku sambil mencocokkan data pada papan pengumaman dan berkasku.

***bersambung***

#Episode-2

TENTANG SEBUAH MIMPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang