Philip mencelup kuas kayunya ke dalam kaleng cat dengan malas. Perasaan tidak nyaman itu kembali hinggap dan mengacaukan kerja otaknya. Gundah dan resah yang membuncah, memberi beban berat tak kasat mata pada sekujur tubuhnya.
Ia menghela nafas, berdiri dari bangku kayu kesayangannya dan mengangkat kanvas yang setengah basah dari sandaran (kuda-kuda kanvas) menuju sisi barat jendela. Biarlah cat minyak itu mengering sebelum ia timpa dengan cat yang baru.
Philip menyibak gorden penuh amarah, membuka jendela lebar-lebar, lalu bersandar pada bingkainya. Beberapa orang lalu lalang di bawah sana. Peluit lokomotif terdengar dari arah timur, diikuti oleh beberapa kereta yang saling berpapasan dari kedua arah. Asapnya membumbung ke udara.
Di bingkai kecil inilah ia menemukan segala ide dan imaji yang kemudian ia tuangkan ke atas kanvas. Mulai dari bunga petunia yang mekar di jendela kamar Anna -si tetangga seberang yang menyebalkan-, hingga gerhana gereja tua di arah barat di kala matahari senja.
Tangannya bergerak menekan sakelar. Lampu-lampu kaca menyala dengan indah, memandikan cahaya pada lukisan-lukisannya yang masih segar. Ia berbalik dan mengabsen kanvas-kanvas yang disandarkan dengan sangat hati-hati agar tidak saling bersentuhan, yang nantinya ketika kering akan ia bingkai dan gantung di dinding galerinya.
Lukisan-lukisan yang khas; cat minyak yang pekat, warna-warna yang dominan monokrom, arsiran yang tegas, serta tanda tangan mungil bertinta emas di sudut tenggara kanvas.
Karyanya sudah lama menjadi buruan para kolektor dan penikmat seni. Lukisannya selalu terjual mahal di setiap pelelangan. Bukan hanya karena lukisan yang emosional dan ciri khas yang tak dapat direplika, juga karena makna tersirat dan tatap mata subjek dalam lukisannya. Dalam berbagai objek yang bisa ia lukis, Ia paling gemar melukis manusia. Mulai dari gestur tangan, pose, gaya berpakaian, juga ekspresi dan emosi seseorang.
"Aku tahu kau kesepian, tapi menggambar perempuan-perempuan yang bahkan eksistensinya tidak pernah ada membuatmu terlihat menyedihkan." Gumamnya pada diri sendiri. Ia pandangi lukisan yang setengah basah itu sambil berjalan mudur, memastikan wajah gadis di sana simetris dan manusiawi. Semakin mundur, hingga menubruk pelan jejeran kanvas putih di belakangnya ia terhenti.
"Fuck." Kedua alisnya mengerut. Pandangan lelaki itu teralih pada kanvas-kanvas di sisi kanan studionya, lagi-lagi pada wanita berambut madu dengan gaun malam yang bersandar dengan anggun di pilar marmer bergaya romawi.
"The Enchantress." Nama lukisan itu, beserta seorang wanita di dalamnya. Lukisan yang kelak akan ia taruh di tengah-tengah galeri dengan bingkai emas. Sebuah mahakarya terhebat dan terindah dalam hidupnya.
Bagaimana tidak, mulai dari memilih kanvas hingga finishing dari The Enchantress sendiri memakan waktu dua setengah bulan. Philip benar-benar mencurahkan emosi, keringat, dan air matanya dalam memvisualisasikan seorang wanita dewasa dengan pakaian yang hampir menerawang, rambut madu berkilauan yang disanggul dengan indah, selendang cokelat yang melorot dengan seksi dari kedua bahunya, kalung mutiara yang memeluk leher hingga dada, serta sorot mata yang penuh kesedihan seolah ingin segera dibebaskan dari dalam kanvas.
"Tariklah aku keluar, philip. Aku tidak suka di sini."
Philip kembali merasa gelisah. Ia menuruni tangga dan berlari kecil menuju galerinya. Dengan tak sabaran ia membuka gerbang hingga berdecit keras. Lampu-lampu kristal yang digantung rendah menyala, menyinari ruang utama dan lukisan-lukisan yang terbingkai di sana. Sepatu berlumpurnya ia bawa melangkah masuk. Ia tatap lumat-lumat setiap pajangan. Gadis ini, gadis itu, gadis di sana, gadis di situ.