Warna dan garis yang Philip goreskan di atas kanvas menjelma menjadi simfoni yang bercerita. Ia bak maestro tanpa ragu mengarsir dan mencipta di atas bidang datar. Luapan emosi yang ia tuang bersama cat-cat minyak di atas palet, bersatu padu dan mencipta warna baru.
Namun belakangan ini ia tak berminat pada kuas dan kanvas lagi. Tumpukan kaleng cat yang terbuka ia biarkan menguap dan kering. Kuas-kuasnya menjadi kaku karena tak pernah dicuci. Studio yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu kini terasa sunyi. Lelaki itu memilih berdiam diri di rumah karena saat ini lukisan berwajah perempuan seolah-olah adalah alergi.
Galeri seni yang ia beri nama La Galerie sudah cukup lama tak ia kunjungi sejak malam itu. Bangunan bertingkat dua, dengan gaya arsitektur romawi klasik dan dicat putih. Lantai satu ia penuhi dengan lukisan-lukisan miliknya serta beberapa pelukis lain. Di tengah-tengah ruangan terdapat patung surealis berukuran besar yang diatasnya tergantung rendah sebuah lampu kristal dari langit-langit lantai dua. Sementara lantai atas ia jadikan perpustakaan kecil-kecilan dengan ornamen topeng-topeng masquerade dan bingkai kosong pada setiap rak.
Hari ini adalah hari dimana lukisan kebanggan Philip yang bertajuk "The Enchantress" akan dipajang di galeri. Lukisan yang cukup besar untuk memenuhi dinding utama sejak lukisan terdahulu "Le Fantome" terjual di pelelangan. The Enchantress adalah potret seorang wanita dengan gaun satin dan selendang berbulu yang tengah bersandar dengan anggun pada pilar marmer.
Vincent dibantu seorang pekerja membawa masuk lukisan itu dengan sangat hati-hati sementara Philip mengekor dari belakang.
"Aku akan membuka kain penutupnya, kau sungguh baik-baik saja?" Tanya Vincent dengan khawatir sambil menyandarkan lukisan itu di dinding. Tangannya yang masih terbalut sarung tangan menyikap kain bludru pembungkus The Enchantress.
"Entahlah. Walaupun aku masih takut, aku tidak mempercayaimu untuk membawa masterpiece-ku." Philip mengeluarkan kedua tangannya dari dalam saku coat dan memegang sisi kiri bingkai lukisan. "Bantu aku."
"Seperti biasa, Philip. Seperti biasa." Ucap Vincent bernada sarkas sambil membantu Philip mengangkat dan menggantung lukisannya.
Philip berjalan mundur sambil tersenyum puas. "L'chanteresse." Satu persatu pengunjung galeri berkumpul untuk melihat koleksi terbaru mereka.
"Aku bukan seorang penikmat seni tapi kali ini kuakui lukisanmu membuatku terpana." Vincent melepas kedua sarung tangannya dan ia masukkan ke dalam saku jaketnya. "Lalu soal katamu kalau wajah mereka terlihat sama, itu sama sekali tidak benar, Sobat."
"Kau hanya ingin aku kembali bekerja. Aku tau itu."
"Setidaknya itu lebih baik daripada berdiam diri di rumah. Studiomu mungkin sudah dipenuhi debu dan rayap." Vincent terkekeh.
"Permisi." Interupsi seorang wanita dari arah belakang. Ia melipat kipas berbulunya.
"Selamat siang, Madam. Ada yang bisa saya bantu?" Vincent dengan gaya dandy-nya mengangguk dengan sopan kepada si wanita.
Wanita itu berbalas senyum. "Aku memginginkan lukisan ini."
"Maaf, tapi lukisan ini tidak dijual." Jawab Philip dengan nada datar. The Enchantress telah membuatnya jatuh cinta, harga tidak -akan pernah- sebanding dengannya.
"Sayang sekali." Nada bicara wanita itu berubah turun. "Lalu apa aku bisa bertemu dengan modelnya? Ia sangat canitk, maksudku, gaun yang ia kenakan sangat indah. Aku ingin tahu dari mana ia mendapatkannya."
"Anda jauh lebih cantik, Madam." Goda Vincent. Terdengar cheesy dan cliché, namun dengan wajah bak pemeran film dan rambut panjangnya yang klasik, ditambah suara beratnya yang enak didengar kerapkali merengut perhatian para wanita. Bahkan Philip menggelarinya womanizer.
"Tentu saja, karena model di lukisan ini tidak pernah ada." Sergah Philip sambil mengembalikan kedua tangannya ke dalam saku. "Sekali lagi sayang sekali, Madam."
Wanita itu bungkam. Raut mukanya yang semula tersipu menjadi tersenyum kecut. Kata "Lihat betapa sombongnya pria ini." Ia gumamkan sambil mengibas kipasnya dan berjalan melewati Philip.
"Kuakui, itu cukup menyebalkan." Vincent menggeleng lemah. "Bagaimana kalau sebenarnya dia adalah inspektur?"
"Aku hanya berkata jujur." Philip berkata santai sambil mengangkat kedua bahunya. "Tidak masalah, sudah lama aku tidak menerima kritikan di koran."