2. Tatapan mata

26 2 6
                                    

Aku mematut diriku pada cermin besar berbentuk persegi panjang berwarna coklat keemasan tepat dihadapanku.

Rok biru panjang dengan atasan kaos berwarna pink salem dan rompi jaring yang panjangnya mencapai satu jengkal diatas lulut, begitu pas dan membuat senyum merekah dari bibirku.

Aku menolehkan kepala kebelakang begitu mendengar suara pintu yang dibuka.

Disanalah tampak seorang wanita anggun yang melangkah menghampiriku dengan senyum paling manis di kota ini.

"Kau belum merapikan jilbabmu, Shareefa? Kami sudah menunggumu sedari tadi". Ucapnya begitu lembut.

Ku anggukkan kepala, bertanda menyetujui ucapannya barusan.

Hulwah Bryden, mata atau ucapan yang indah dan manis, itu lah namanya. Kakak perempuanku. Aku dan Hulwah tinggal disebuah apartemen sederhana di London yang tak jauh dari Tfl atau London Underground. Memudahkan kami dalam bepergian jauh.

Setelah memastikan jilbabku terpasang dengan rapi dan cantik, aku bergegas keluar kamar dan menghampiri Hulwah yang kini tengah berbincang dengan Bob, orang yang dikirim oleh Aland - calon suami Hulwah-.

Kami memang sudah akrab dengan Bob. Selain sering mengantar jemput Hulwah atas perintah Aland, rumah Bob juga tak jauh dari apartemen kami.

Bob, seperti orang tua untukku dan Hulwah. Ia begitu baik dan penyayang. Bob memperlakukan aku dan Hulwah seperti anaknya. Ah, aku pernah bertemu dengan anaknya. Namanya Khadhra, wanita cantik dan baik. Sayangnya ia tak tinggal dengan Bob. Khadhra sudah menikah dan kini menetap di kota Inggris.

"Wah, lihat anak gadis siapa ini?". Bob berseru begitu melihatku.

Aku menghampirinya, memberikan salam dan senyum terbaikku untuk mereka.

***

Hulwah menuntunku, menggenggam tangan kananku untuk mengikuti langkahnya. Kami sampai pada sebuah ruangan besar beraksen Eropa yang sangat mewah. Aku tidak pernah tahu rumah Aland sebesar ini.

Tiga orang dewasa menghampiri kami, Aland dan kedua orang tuanya. Mereka tersenyum ramah padaku dan Hulwah, mempersilakan kami duduk dan menyantap hidangan yang sedari tadi tersedia di meja super panjang itu.

"Adik Hulwah, kami harus memanggilmu dengan apa?".

Aku menghentikan gerakan tanganku, menatap wanita, maksudku ibu Aland.

"Namanya Shareefa, mom". Aland menjawab pertanyaan itu.

" Maaf, mom. Shareefa memang agak pendiam". Tambah Hulwah.

Aku mendesah dengan pelan. Selalu seperti ini. Menyusahkan Hulwah dan Aland.

Seakan mengerti maksud ucapan Hulwah dengan kata 'agak pendiam'. Mrs. Dustin tersenyum padaku.

"Oh, tak apa. Dahulu, aku pun sangat pendiam. Ayo Shareefa, lanjutkan makanmu, aku memasak spesial hari ini".

Aku tersenyum mendengar ucapan panjang lebarnya. Dia, Mrs. Emma Dustin adalah ibu yang baik.

Beruntungnya Hulwah. Dan semoga selalu beruntung.

***

Sudah satu bulan setelah acara pertemuan Hulwah dengan keluarga Aland. Semenjak itu, Mrs. Dustin sering menemuiku, entah di rumah, kampus, bahkan tempatku bekerja.

Ia memperlakukanku sama seperti memperlkukan Hulwah. Aku adalah anaknya juga, itulah yang sering ia ucapkan pada aku dan Hulwah.

Seperti beberapa hari sebelumnya, aku tengah berdiri di pinggir jalan tak jauh dari area universitas tempatku. Menunggu Mrs. Dustin. Ia bilang akan membawaku ke suatu tempat. Entahlah, aku hanya perlu mengikutinya.

Tanpa sengaja, pandanganku mengarah ke tempat itu. Sebuah jalan yang begitu familiar. Beberapa bulan yang lalu. Tempat dimana aku menemukan sesorang yang menarik perhatianku sampai aku melakukan hal aneh seumur hidupku.

Aku mengikutinya, bahkan aku sering datang ke jalan itu hanya untuk menunggunya, melihat dirinya lewat dihadapanku.

Semua itu berakhir begitu aku membaca salah satu buku di perpustakaan tempat aku menguntit orang itu. Aku teringat Hulwah. Bukankah aku sudah berjanji.

Bola mata ku membesar. Kenapa disaat aku berniat melupakan sosok itu, justru Allah malah mempertemukan aku dengan sosok itu lagi.

Dia tengah duduk bersandar di pinggiran toko tempat dimana aku biasa menunggunya dulu. Kali ini ia mengenakan jaket biru tua dengan gambar yang tidak aku mengerti di bagian dadanya. Seperti biasa, ditelinganya menggantung headset putih itu.

Tapi, yang membuatku terpaku adalah matanya. Mata itu... kini... menatap tepat ke arah tempat ku berdiri saat ini.

Tbc.

>>>

Hahaha... entah apa lah ini...hehe

follow your footstepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang