MY RARE HUSBAND

3.4K 279 29
                                    

.
.
.
.

"Bangun, Dumbass! Aku tidak mau melihatmu berleha-leha di ranjang sementara aku harus menyiapkan sarapanmu!"

Jangan aneh karena aku berteriak pada suamiku -ah, atau bisa dibilang pria yang mengaku sebagai suamiku.

Biar kuberi tahu, ia adalah tipe orang yang sulit bangun pagi. Membangunkannya sama saja dengan membangunkan beruang hibernasi. Sepertinya dia lebih mencintai kasur daripada aku.

"Kau dengar aku tidak?! Cepat turun dari ranjang!" aku menyibak selimut yang membungkus tubuhnya dengan tarikan kencang, lalu kulempar selimut itu ke sembarang arah.

"Iya, iya, sebentar..." ia menggumam, suaranya tak begitu terdengar jelas karena ia menenggelamkan wajahnya di bantal. Aku heran kenapa dia suka sekali tidur dengan posisi telungkup. Bukankah telungkup membuat dadanya terhimpit? Jadi sulit bernapas, 'kan? Tapi mungkin saja ia punya insang di belakang telinganya.

"Cepat banguun!" aku mulai kesal karena ia tak segera bangun, malah menggeliat manja. Sambil menunggunya aku berkacak pinggang.

"Aku sudah bangun... " ia membalik badannya, telentang. Lalu menatapku. "Selamat pagi, sayang..." ia melempar sejurus senyuman lebar padaku. Dengan rambutnya yang berantakan, matanya yang sembab, dan kaus abu-abunya yang kusut, ia membuat tensiku sedikit turun. Mau tidak mau aku harus mengakui kalau aku suka wajah bangun tidurnya. Natural -meskipun berantakan-.

"Cepatlah bersiap-siap. Katamu hari ini ada janji dengan klien, 'kan?"

"Iya." ia beranjak dari ranjang sambil menggaruk-garuk punggungnya. "Sayang." panggilnya padaku.

"Apa?"

"Aah~ rasanya aku ingin sekali mencubiti pipi tembem -mu."

Cara bercandanya keterlaluan. Aku sampai-sampai tak pernah lupa mengecek berat badanku setiap minggu.

"Berhenti mengejekku!"

Ingin rasanya aku mencekiknya lalu kulemparkan dia dari jendela. Tapi tiap mulut itu mengeluarkan kata-kata yang membuat ubun-ubunku panas, aku selalu menahan diri untuk tidak melakukannya, bagaimanapun aku masih membutuhkan pria itu -ekhem, ya begitulah.

Aku menikah dengannya 6 bulan lalu. Dulunya aku dan dia adalah kakak-adik kelas yang entah mengapa selalu satu sekolah. Dari TK, SD, SMP, SMA, sampai ketika kuliah pun kami masuk ke universitas yang sama. Orangtua kami bilang itu sudah suratan takdir, bahwa Dewa Amor sudah mengikatkan benang merahnya pada kami, jodoh yang tak perlu jauh-jauh dicari. Masa bodoh. Mereka terlalu berlebihan.

Kadang aku risih karena pria itu tidak pernah jauh dariku, dia selalu mengikutiku ke mana-mana. Pernah suatu kali aku menyuruhnya untuk mencari kekasih -tujuannya agar dia sedikit menjauh dariku, tapi dia tidak cukup serius untuk itu.

Dia telah rapi ketika aku melihatnya turun dari tangga. Ia mengenakan kemeja putih dengan dasi abu-abu. Tapi seperti biasa, ia tak bisa memasang dasinya dengan benar. Aku menghampirinya untuk membantunya memasang dasi.

Dia melirik ke arah meja makan di mana secangkir kopi dan roti panggang sudah tersedia untuknya.

"Sayang ... aku mau susu... aku tidak mau minum kopi..." dia merajuk seperti bocah. Dasar manja. Harusnya dia sadar umur, masih pantaskah dia minum segelas susu di saat para suami lain dengan kerennya meminum secangkir kopi sambil membicarakan tentang berita di koran pagi?

"Minum saja kopimu! Memangnya kau tidak ingat sudah menghabiskan semua persediaan susu di kulkas? Tidak usah banyak protes!" apa kalian tahu kalau suamiku itu maniak susu?

"Kenapa kau sudah memarahiku pagi-pagi...?" dia cemberut, setelahnya menyesap kopi itu.

Aku menghela napas, tidak habis pikir mengapa aku bisa tahan menghadapi makhluk menyebalkan satu itu. Semoga saja kalau aku punya anak, anakku tidak seperti dia. Mengurus satu yang seperti itu saja sudah sulit apalagi dua.

MY RARE HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang