MY RARE HUSBAND Pt.2

2.5K 260 40
                                    

.
.
.
.

'Aku akan pulang terlambat, aku dan Mean harus menemani Daily ke distrik 3 untuk mengecek dokumen.'

Pesan singkat itu hanya kubaca sekali lalu kuhapus. Aku hanya ingin kasus wanita itu cepat selesai, aku tidak suka Perth harus mengikuti wanita itu ke mana-mana. Meskipun dia mengatakan akan ke distrik 3 bersama teman kantornya pun tetap sama saja bagiku.

Ada wanita itu.

Kekesalanku pun semakin menjadi. Apalagi ketika aku ingat janjinya bahwa malam ini dia akan pulang cepat untuk makan bersamaku. Untunglah aku belum memasak apapun, sehingga kuurungkan saja niatku. Lebih baik tidak usah memasak saja sekalian, 'toh dia akan pulang terlambat.

'Kau mau kubelikan apa?'

Dia mengirimiku pesan lagi, kubaca tapi tak kubalas. Biarkan saja.

'Sudah tidur?'

Jarak lima menit dari pesan tadi, masuk pesan yang lain. Aku tetap bersikukuh tidak akan memedulikannya. Tidak akan kubalas!

'Angkat telponnya, angkat telponnya, angkat telponnya sekarang juga~ sekarang juugaa~'

Rasanya ingin kulempar saja ponselku yang terus berdering itu. Kenapa ia harus memasang nada dering yang riang gembira seperti itu? Apalagi ia merekam suaranya sendiri. Aku sedang kesal! Aku muak mendengar suaranya!

Akhirnya kucabut baterai ponselku dan menaruhnya asal di atas sofa. Aku lalu duduk di lantai, menyalakan televisi dan menonton. Ya, begini lebih baik. Supaya aku tidak perlu mengingat-ingat si Dumbass itu.

Satu film sudah tamat ditayangkan di channel yang kutonton, masuk ke film yang kedua. Aku berkali-kali pindah posisi dari duduk di lantai, ke sofa, lalu kembali lagi ke lantai. Semuanya begitu membuatku risih. Aku sendiri tidak mengerti kenapa.

Hampir jam sebelas malam.

CKLEK

"Aku pulang..."

Dia pulang.

Aku tidak membalas salamnya. Aku enggan untuk berbicara dengan Perth.

Ah, melihat wajahnya saja aku sudah ingin marah, apalagi bicara. Akhirnya aku tetap duduk di depan televisi, membaca majalah, tanpa menoleh ke arahnya sedikit pun.

"Saint?"

Dia memanggilku. Nadanya biasa.

"Saint, kau tidak mengangkat teleponku?"

Diamlah bodoh! Aku kesal mendengar suaramu!

"Ck."

Ada keheningan sejenak.

"Saint. Aku tidak suka kau mengabaikanku."

Nada bicaranya berubah tegas dan dingin. Mungkin dia juga marah padaku karena terus mendiamkannya.

"Kenapa?"

Akhirnya aku bicara, tapi tak berani menatap lurus padanya. Aku terlalu lemah untuk berhadapan dengan mata tajam itu. Aku benci ketika ia marah. Tidak, aku takut. Alih-alih membalik badan, aku menundukkan kepalaku, dan lagi-lagi berpura-pura membaca.

MY RARE HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang