Kenapa?

45 12 8
                                    

"Ma Aldi udah kesini?” tanya Riana yang baru datang. Rahma sedang asik memotong kuku dan memakai kutek. Riana tersenyum geli melihat tingkah Rahma.

“Belum. Kenapa?” jawab Rahma mendongak sebentar. Lalu fokus kembali dengan kuku-kukunya.

“Oh nggak kok,” jawab Riana singkat.

“Kenapa Ria ada masalah?” teriak Rahma yang melihat Riana cemas.

Lalu Riana pergi setelah menaruh tas di meja dan mengambil kotak makanan. Tidak menghiraukan teriakan Rahma. Berlari ke arah lift. Tujuannya satu, meja Aldi. Ingin memastikan dia baik-baik saja. Bibi memberi informasi Aldi ternyata tidak pulang ke rumah. Pikirannya menjadi kacau setelah membaca chat dari Putra. Semua di luar kebiasaan Aldi.
Membuatnya percaya ada yang tidak beres.

Menyumpahi lift yang lama sekali, maklum karena jam operasional kantor jadi banyak yang menggunakannya. Tidak sabar menunggu akhirnya menggunakan tangga darurat. Bergegas menuruninya.

Tiba-tiba kakinya terhenti di tengah perjalanan. Ada
pemandangan yang tidak asing. Dari postur tubuh Riana kenal bahkan sangat mengenal. Ya
itu Aldi. Merokok sendirian. Tidak menyadari kehadiran Riana. Riana menghela napas
panjang. Dia pikir Aldi sudah berhenti merokok. Tapi bukan saatnya untuk membahas itu.
Tanpa pikir panjang Riana turun duduk di sampingnya. Membuat Aldi sedikit terkejut. Bersitatap sejenak.

“Al. Gimana udah sembuh?” tanya Riana yang mengecek dahinya.

Aldi menatapnya sebentar, tersenyum lalu menginjak rokoknya. Riana tidak menyukai saat dia merokok. Tapi juga tidak melarangnya. Dia sendiri yang memutuskan untuk berhenti. Kecuali saat pikirannya kacau. Hanya sebatang rokok yang mampu menenangkannya.

Aldi terlihat berantakan tidak seperti biasanya. Kemejanya kusut tidak ada bekas setrika. Juga tidak menggunakan dasi pula. Mukanya sedikit pucat. Gurat wajahnya tidak jelas menunjukkan marah, lelah atau kecewa.

Riana terus mengamati wajah Aldi tanpa suara. Hanya hatinya yang berisik.

“Tuhan kenapa dia? Ada masalah apa? Kenapa dia nggak memberi tahuku? Kenapa kemarin nggak pulang ke rumah? Apa yang terjadi? Kenapa harus pergi dengan Dira? Ahhh rasanya bukan waktu yang tepat untuk mengintrogasinya. Pasti dia akan cerita kalau sudah waktunya. Aku bukan anak sma lagi yang merajuk karena nggak
dikabari sehari saja. Dia jelas punya dunia sendiri. Dunia yang nggak ada aku di dalamnya.
Tetapi aku tahu ada yang nggak beres dengannya.” Hatinya sungguh tidak tahu diri menuntut penjelasan.

“Kemarin aku pulang naik taksi Al.” Riana berusaha membuka pembicaraan. Tanpa
harus menyinggung sikap Aldi.

Lagi-lagi Aldi hanya diam, tersenyum tipis. Memandang putung rokok yang telah
mati diinjak. Seakan itu lebih penting daripada menatap seseorang di sampingnya.

Berusaha membujuk hatinya untuk berdamai. Tetapi dia juga manusia yang punya ego. Percakapan mereka masih bergema di kepala, membuat pertahanannya hancur menjadi remah-remah. Seperti sia-sia semua perjuangannya selama empat tahun. Waktu ternyata tidak mampu menyembuhkan luka.

“Kamu udah sarapan? Tadi aku buat nasi goreng.” Riana memberikan kotak makanan
yang disiapkannya.

“Thanks ya.” Riana menangkap ada jarak yang dibangun oleh Aldi sejak kemarin.

Akhirnya dia bicara juga. Riana menghembuskan napas lega mendengar suaranya. Itu
cukup. Membujuk hatinya untuk tidak menuntut penjelasan. Walaupun banyak pertanyaan
yang berputar-putar di kepala lebih baik mengurungkan niatnya. Belum saatnya untuk
bertanya.

Kadang keegoisan kita untuk mengetahui segalanya yang memperburuk suasana.
Sudah tau tidak baik-baik saja tetapi tetap ditanya. Sudah tahu belum mau cerita dipaksa
memberi penjelasan. Bukankah kita terlalu banyak menuntut pada orang lain?

Hey dia juga manusia sama seperti kita. Butuh ruang untuk menyendiri. Bukan robot yang akan memuaskan segala egomu.

Berhenti mengatasnamakan kepedulian. Itu egoisme kawan.

“Enak nggak Al?” tanya Riana berusaha melihat wajah Aldi yang hanya menunduk.
Menyendok nasi gorengnya tanpa bersuara. Tidak seperti biasanya yang ngoceh ini itu.

Aldi lagi-lagi memilih bahasa isyarat mengangguk sebentar. Lalu kembali fokus dengan makanannya. Riana mendengus kesal, merasa diabaikan.

“Weekend kita jadi nonton kan sama Rahma?” Riana tidak putus asa untuk mengajaknya bicara. Mencari topik yang kira-kira Aldi harus membuka mulutnya untuk menjawab.

“Kalau lo nggak bisa dibatalin aja nggak pa-pa kok,” jawab Aldi dingin. Kali ini dia menoleh sebentar. Menatap Riana lalu berpaling lagi.

Riana berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak terpancing emosinya. Mungkin saja pertanyaannya salah dan Aldi masih terlalu sensitif.

“Aldi aku cuma nanya. Kamu baik-baik aja? Ada yang perlu aku tahu.” Riana tidak dapat menahan rasa penasarannya.

“Baik-baik aja atau nggak lo juga nggak peduli kan?”

Riana memejamkan mata
mendengar jawaban itu. Hening. Hatinya berontak tidak terima. Hah tidak peduli bagaimana
maksudnya? Tetapi dia memilih tidak menjawab. Buat apa? Apapun jawabannya tetap salah.
Dalam kondisi ini lebih baik diam. Menunggu keadaan membaik.

“Tuhan kenapa dia berubah sensitif banget. Bukan Aldi yang aku kenal. Kenapa dia?
Apa aku menyakiti hatinya? Tetapi apa? Aku sama sekali tidak tahu. Kemarin dia masih
baik-baik aja. Mungkin aja dia banyak kerjaan Ria.” Kalimat terakhir menjadi kekuatannya
untuk bertahan.

Aldi terus diam. Mengaduk-aduk nasi goreng yang masih beberapa suap. Tidak tahu
apa yang harus dilakukannya sekarang. Ada rasa sesal menjawab sedingin itu.

Tiba-tiba tangan Riana merengkuh tubunya dari samping. Memeluknya tanpa suara. Menyeka sudut matanya di bahu Aldi. Bergumam lirih. “Aku naik dulu ya Al. Aku selalu siap dengerin ceritamu.” Riana kemudian menarik tubuhnya. Berdiri. Meninggalkan Aldi.

“Kenapa nggak dijawab?” Aldi berdiri memutar tubuhnya. Menatap punggung Riana
yang baru naik tiga tangga di atasnya.

Gurat wajah itu ternyata gurat wajah kecewa. Riana dengan jelas melihat wajahnya. Setelah mendengar suara Aldi dia membalikan badan. Memaksa kakinya menuruni tangga lagi. Matanya terus menatap Aldi. Mendekat. Kini jarak mereka hanya satu langkah. Hening. Tidak ada yang berbicara. Hanya mata yang saling menatap tajam. Aldi menuntut jawaban dan Riana mencari tahu apa yang terjadi.

“Kenapa nggak dijawab?” Ulangnya sekali lagi. Suaranya lebih emosional. Riana terus menatapnya tanpa ada keinginan menjawab. Mengalihkan pembicaraan ke lainnya.

“Hey kamu kenapa Al? Marah sama aku?” jawab Riana memaksakan senyum di
bibirnya.

Hatinya berdegup tidak beraturan. Firasatnya mengatakan tidak baik. Aldi tidak pernah terlihat se-emosional ini. Riana sangat jarang melihatnya marah. Apalagi marah ke dirinya. Aldi selalu memperlakukannya dengan baik.

“Tuhan apa yang telah aku lakukan ke Aldi?” pikir Riana dalam hati.

“Nggak denger gue ngomong apa?” Suara Aldi meninggi terdengar membentak.

Untuk kali pertama Riana merasa takut. Takut kehilangan. Memori satu per satu keluarganya kembali memenuhi kepalanya. Teriakan. Teriakan Bundanya jelas terdengar.
Riana mundur selangkah menabrak pembatas tangga. Wajahnya pucat. Air mata
keluar begitu tanpa bisa dicegah. Riana masih berusaha mengendalikan diri. Berdiri tegak. Kakinya terasa lemas. Keringat dingin menjalar ke seluruh tubuhnya tiba-tiba. Memaksa kakinya berlari menaikki tangga. Kembali ke mejanya. Riana masih tidak mempercayai Aldi
membentaknya lagi tanpa alasan.

Aldi mematung di tempat yang sama. Mulutnya membisu sekedar untuk bertanya
“Kamu kenapa Ria?” Pikirannya masih sama kacaunya dengan kemarin. Belum berasil
mengendalikan perasaannya. Hatinya semakin perih menginggat kelakuannya barusan.

“Dasar pengecut!!! Nggak inget sama janji-janji lo. Brengsekk.” Pikirannya menyerbu.
Menyalahkan tindakannya.

"Maaf Ria," gumam Aldi lirih.

***
Riana terus memandang ponselnya. Tidak ada telepon masuk atau sekedar chat dari
Aldi. Dia hanya menginginkan satu kata yang mungkin mampu melegakan dan merendam amarahnya. Ingin rasanya memaki-maki tapi mengurungkan niat. Tidak ingin memperburuk suasana.

"Kenapa Al harus kaya gini," katanya dalam hati. Perasaan sesak terus menekannya tanpa ampun.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dia KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang