F A L D I S

5 1 0
                                    

Aku lebih menyukai cowok yang menyibukan diri dengan hal positif. Itu mengapa, semakin lama aku jatuh hati dan terus terjun terjerumus dalam lubang kekaguman.

Meskipun setelah berada ditingkat XI (setingkat kelas 2 SMA) kami menempati kelas yang berbeda. Tapi Aku masih saja memperhatikannya. Bahkan agar dapat melihat wajah Faldis aku harus berusaha dengan berjalan putar balik dari kantin melewati lapangan. Walaupun sebenarnya itu malah membuat jarak tempuh menuju kantin lebih jauh. Tapi semua itu rela kulakukan hanya demi menagih sebuah senyuman yang akan tergurat pada wajahnya.Tak jarang, kudapati ia tak ada di kelas. Aku kecewa. Rasanya pahit seperti obat yang kau telan tanpa dorongan dari air putih.

Fase ketiga.

Disini aku merasa tak bisa berpaling darinya. Hati ini penuh sesak olehnya, hingga tak ada tempat untuk yang lain! Kali ini keyakinanku semakin bertambah bahwa dialah yang ku inginkan. Aku mulai sadar telah masuk ke fase ke III.

Aku mencintainya dalam diam. Apa daya aku tak memiliki kesempatan tuk mendekati. Aku kehabisan akal.

Walaupun sering memperhatikannya, aku tak pernah PDKT atau melakukan upaya pendekatan. Namun bukan berarti namanya tak pernah kulafalkan bersamaan dengan doa-doa lain yang rutin kuadukan pada sang penguasa semesta ini. Tak hanya itu, hanya dia yang paling sering menjadi objek yang kuceritakan pada temanku. Salah satunya Saci. Kupastikan Saci jenuh mendengar cerita-ceritaku tentang Faldis. Dan memang! akan terasa membosankan. Karena aku bercerita seolah-olah Faldis itu pacarku. Siapa yang tak akan mual mendengar bahan obrolan semacam ini.

Miris! padahal kedekatanku dengan Faldis hanya sebatas mantan teman sekelas, tak lebih.

Semenjak berbeda kelas hubunganku semakin jauh, tak memburuk, tapi perlahan memudar.

Love is not about waiting companion to accompany you for walking, but love is enjoy walking together.

Sejauh ini aku berfikir. Memang aku selalu ingin tau tentangnya; Musik apa yang ia dengar?

Wangi parfum apa favoritnya?

Akhirnya aku mulai merenung. Aku mulai bertanya-tanya, aku ini pengaggum atau seorang mata-mata yang mendapat mandat dari agen FBI? Karena Sebegitu ingin tau tentang minat seseorang.

Dan pada akhirnya aku semakin takut, kalau nanti malah melupakan dan mengabaikan jati diriku, hanya karena terlalu larut dalam mendalami jiwa seseorang.

Tak pernah sedetikpun aku memikirkan pria lain selain dia. Sebenarnya mahluk macam apa aku ini? Setia pada ketiadaan. Setiaku ini megah kubangun mewah dalam hati! namun hal ini terasa aneh ketika dilakukan olehku, seseorang yang bukan siapa-siapa. Aku bahkan bukan seseorang yang spesial di matanya.

Pernah sekali kudengar kabar, kabarnya dia dekat dengan salah satu adik kelas. Aku merintih menangisi isu yang baru kudengar. Siang itu bantal harus terkena basahan dari mataku. Sakit sekali. Rasanya bak disayat-sayat silet lalu menggosoknya dengan potongan lemon lalu menaburnya dengan bubuk merica.

Namun ternyata itu hanyalah kabar burung, tak benar adanya, setidaknya aku bisa bernafas lega.

Namun pada akhirnya, Saci dan beberapa temanku mulai memberiku nasihat. Mereka berpendapat bahwa lebih baik kurubuhkan saja semua asa ini. Bagaikan membangun sebuah rumah, aku memang membangunnya dengan tujuan bahwa rumah tersebut akan nyaman dan disukai oleh Faldis. Namun, sampai kapan pun Faldis tidak akan mendiami rumah tersebut.

Aku menangis sejadi-jadinya! Kenyataan terpahit adalah: mengetahui, bahwa rasanya seperti terlarang 'tuk membiarkan seseorang menjadi aktor dalam setiap imajinasiku.

Memang nasihat dari temanku itu benar. Bahkan saat kita duduk dibangku kelas XII (setara kelas 3 SMA) diketahui bahwa dia berpacaran dengan Lydia yang juga teman sekelasnya. Mereka berpacaran sekitar enam bulan lamanya. Reaksi Pertama ketika aku mengetahui kabar buruk itu membuatku sempat sehari tak masuk sekolah karena sakit. Seharian murung dikamar tanpa setitikpun gairah yang menggeliat. Akhirnya, pernah suatu hari.

Kala itu rinai hujan deras membasahi bumi. Aku berniat untuk hujan-hujanan pada hari itu. Hujan-hujanan adalah suatu bentuk selebrasiku untuk tidak memikirkan Faldis lagi!

Gaya gravitasi kala itu membuat air mataku dan air hujan secara bersamaan turun ke tanah.

Malah sempat aku mengadu kepada Tuhan mengapa tak pernah mencoba mendekatkan Faldis denganku? Aku yakin akan kuasa Tuhan. Dan perkara ini tidak ada apa-apa nya.

Menurutku lebih rumit menciptakan tata surya dibandingkan menjadikan Faldis sebagai pasanganku. Aku mulai letih merajut kain tanpa pola. Menyusun rasa tanpa ada tujuan yang pasti.

Aku akan berhenti menjadi hamba pengharapan. Aku tidak akan mengembara ke dalammu, karena kau sendiri tak memperkenankannya, dan memalang langkahku untuk masuk. Aku tak mau menjadi hamba pengharapan, apabila itu akan menghanguskan kitab-kitab logika yang tersusun rapi dalam rak nalarku. Aku tidak mau berharap pada seseorang yang sama sekali tidak mendeklarasikan dirinya tuk dicintai, mencintaimu adalah suatu bentuk kebodohan yang bisa menjadikan ku lebih bodoh daripada keledai yang tak naik kelas!

Setelah kupikir-pikir lagi, akupun mulai sadar. Kenapa aku menagih sesuatu hal tanpa usaha? Inilah yang terjadi, bagaimanapun aku tak pernah membenci Faldis. Karena ia tak memiliki kesalahan. Karena rasa yang timbul dari hatiku ini jelas di luar kuasanya! Konyol sekali rasanya jika aku harus membencinya. Bahkan sesekali masih kusebut namanya diantara doaku. Walau frekuensinya tak serapat dulu.

Setelah duduk di bangku kelas tiga SMA, aku sudah tak begitu banyak memikirkannya. Aku fokus mengejar target untuk masuk PTN. Aku menyibukan diri dengan bertarung dengan jadwal bimbel, dan belajar. Aku berharap pada pertengahan tahun setelah aku lulus, aku bisa berkirim surat pada bunda, sembari memberitahukan bahwa anak semata wayangnya ini bisa diterima di kampus negeri terbaik di kota ini.

Sebelum acara kelulusan, aku sudah jarang memikirkan Faldis. Karena sudah dipastikan dia sedang berbahagia dengan Lidya.

Tentu jika kebersamaan mereka berdua itu adalah bentuk kebahagiaan bagi Faldis, akupun turut berbahagia.

*

Pernahkah kalian merasa, disaat kalian berpasrah pada Tuhan. Dan mulai Berfikir bahwa memang takdir adalah mutlak skenario Tuhan, bukan kita sebagai ciptaannya?

Justru disinilah semua berputar seratus delapan puluh derajat. Disaat aku berusaha melupakannya, Sekitar sebulan setelah kelulusan tepatnya. Saat itu aku break menunggu waktu kuliah, tiba-tiba ia menghubungiku.

Seperti halnya sebuah pertanyaan, Jawaban justru datang ketika kita tak lagi membutuhkannya.

Aku menyadari perasaanku dulu tak ada bedanya seperti perasaan seseorang fans pada idolanya. Hmm it seems not good! Thats why I decided to forget him.

Beberapa bulan lalu ia menghubungiku. Pasalnya ia membutuhkan bantuan untuk mengisi sebuah kuisioner.

(Bersambung)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Thousand IslandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang