Kirana Syifanda

5 0 0
                                    

Aku hanyalah remaja seperti kebanyakan remaja lainnya. Namun, menjadi tidak biasa karena ketika masih duduk di bangku SMP, orangtuaku memutuskan untuk menjadi pahlawan devisa. Selama orang tuaku bekerja, aku tinggal bersama tanteku.

Akan tetapi, setelah diterima di salah satu perguruan tinggi di Jakarta ini, aku memilih menjadi penghuni salah satu tempat indekos di kawasan dekat kampus.

Aku nyaris hidup sebatang kara di Jakarta. Hanya ada beberapa kerabat saja di kota ini. Meski begitu, bisa dibilang sebatang kara itu tak berarti aku kesulitan secara finansial.

Ibuku tidak pernah lupa mengirim uang sebagai bekal untuk memenuhi semua kebutuhanku. Jumlah rupiah yang ibu kirim bisa dikatakan lebih dari cukup. Perihal materi aku belum pernah menemukan kendala yang berarti.

Namun satu hal: semua kelebihan itu harus kubayar dengan kebersamaanku bersama ibu, yang harus rela kugadaikan.

Rasanya ... kebersamaan itu tak ada satuan hitungannya sekalipun dengan segepok dolar atau rupiah. Kebersamaan bersama keluarga itu lebih dari mahal adanya. 

Ketika teman-teman penghuni indekos lain pulang kampung untuk menemui Ayah, Ibu serta sanak famili, Aku harus rela hanya bisa bertemu tanteku di kota Bekasi. Rumahnya itu kujadikan tempat berlabuh, semisal pada hari raya.

Bunda hanya dapat mengirim gambar-gambar beliau di depan megahnya Ka'bah pada saat hari raya. Di perantauan sana ia lebih memilih mengunjungi tanah suci. Sebab pada waktu lebaran, jamaah yang berkunjung lebih sedikit dibandingkan dengan hari lainnya.

 Sebab pada waktu lebaran, jamaah yang berkunjung lebih sedikit dibandingkan dengan hari lainnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada rumus yang menyatakan bahwa kebahagiaan itu ditentukan hanya dengan kesempurnaan. Karena sempurna belum tentu bahagia. Jika tolak ukur kebahagiaan hanya dari sempurnanya kehidupan, aku yakin, di luaran sana banyak sekali orang-orang yang dianugerahi kekurangan, namun hatinya selalu basah oleh hujan rasa syukur. Seperti halnya diriku, meski jauh dari Orangtua, tapi aku selalu bahagia.

Sudahlah! aku tak mau membanding-bandingkan hidupku dengan kalian. Bahwa tak ditemani Orangtua saat mengambil rapot saja sudah biasa kujalani.

Seperti sekarang ini, aku mengurus pendaftaran kuliah sendiri. Dua puluh persennya diurus tanteku sebagai wali. Menjalani kehidupan yang tak begitu normal inipun tak menghalangiku untuk dapat berkuliah di salah satu Universitas Negeri terbaik di kota ini.

*

Aku akan dijemput pacarku sepulang dari kampus. Faldis namanya. Oh iya! Aku sampai lupa mengenalkan pangeranku ini pada kalian semua.

Konon dahulu dia adalah teman sewaktu kami sama-sama duduk dibangku SMA. Kebetulan saat aku kelas X (setara kelas 1 SMA) aku dan dia mendiami kelas yang sama. 

Sebenarnya aku selalu menjelma menjadi orang yang sangat pemalas jika harus menceritakan kisahku dengannya. Dengan sangat ringkih aku telah melewati beberapa fase.

Pertama

Fase dimana mengagumi secara visual. Tidak harus menjadi munafik. Penampilan adalah hal yang pertama kau nilai, when everyone said dont judge by its cover. But sometimes cover yang bagus relate with inside the book. Terserah! kalian mau setuju atau tidak. Toh pertanyaan ini tidak akan muncul pada soal-soal Ujian nasional.

Menurutku aspek fisik adalah hal yang diberikan Tuhan, dan itu tidak bisa diubah. Tapi soal penampilan itu mempresensentasikan kepribadiannya.

Soal penampilan Faldis sangat rapi. Rasanya selama bertahun-tahun bersekolah di sekolah yang sama, aku tak pernah melihat dia berpakaian urakan. Contohnya: baju dikeluarkan atau apalah. Ia pasti memakai seragam putih abu lengkap dengan gesper. Tingkat kerapihannya sudah melebihi para pegawai kantoran. Wajahnya manis. Cowok ganteng pasti lebih banyak, tapi wajah Faldis manisnya pas tidak membuat overdosis.

Fase Kedua

Menyukai seseorang dan baru sebatas sampai pada fase pertama. Sepertinya itu bukan cinta melainkan sebatas rasa kagum. Tak lebih. Mulanya, aku senang saat menerima kenyataan bahwa aku sekelas dengan pangeranku ini. Pangeran khayalan tepatnya. Kau harus tau betapa senangnya aku kala itu mendapati kenyataan, bahwa kita akan bertemu dengan sang pujaan hati setiap hari. Namun, pada akhirnya aku mulai menyadari selain benefits, ada juga kekurangannya, yaitu: akibat aku sekelas dengannya, alhasil kosentrasi belajarku berkurang. Konsentrasiku berkurang karena harus terbagi dengan fokus yang lain, yakni memperhatikan Faldis yang kala itu posisi duduknya terpisah hanya dua baris bangku denganku. Selain itu, aku sungguh kelelahan.

Ketika mulai sakau akan perhatianya! tapi apa daya? aku bukanlah siswa yang cantik dan mempesona. Malangnya aku ditakdirkan hanya sebagai seorang kutubuku yang ceroboh.

Sebenarnya diperhatikan oleh Faldis adalah suatu bentuk kemustahilan. Celakanya! setiap aku berada dikelas dan seketika itu melakukan kesalahan, aku terus menerus kepikiran karena merasa diperhatikan Faldis. Di fase ini aku merasa kepribadiannya membuatku terjatuh lebih dalam lagi. Semakin kutau kepribadianya, semakin kutau bahwa ia memang layak tuk kukagumi. Seperti contoh; dalam hal prestasi belajar dia mendapat peringkat ke 5. Walau sebenarnya, dalam hal peringkat aku lebih unggul yaitu menduduki peringkat ke-2 dikelas.

Aku tak banyak mengikuti kegiatan-kegiatan di sekolah, hanya mengikuti eskul beladiri capoeira saja. Itupun dikarenakan aku ingin memiliki ilmu pertahanan diri. Alasan lainnya karena tuntutan dari sekolah bahwa setiap siswa harus memilih setidaknya satu cabang estrakulikuler.

Lain halnya denganku, Faldis mengikuti beberapa ekstrakulikuler. Tak hanya itu, dia termasuk siswa yang aktif di kelas. Seleraku jelas bukanlah jenis spesies badboy yang rutin dipanggil pihak kesiswaan dan memiliki poin pelanggaran yang nyaris penuh. Ini soal selera, dan itulah seleraku! Aku lebih suka Mr. Niceguy. Menurutku aktualisasi diri yang mumpuni akan meminimalisir seseorang untuk melakukan hal-hal nekat, seperti menjadi trouble maker di sekolah. (bersambung)

Thousand IslandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang