Menit Ketiga

40 4 0
                                    

[Untuk Merasakan]

Sinar senja menyelisik di sela-sela rerimbunan mega di angkasa, yang melayang mengikuti angin. Mengibarkan rambut Safira yang mulai memanjang. Ditambah lagi, dia tengah membonceng Zaki. Rutunitas tiap pulang sekolah yang tak pernah terlewat, kecuali kalau bukan karena Safira harus berburu informasi terbaru atau Zaki yang sibuk dengan waktu belajarnya.

"Zaki?"

"Iya, Fira?" Zaki balik tanya sambil melirik kaca spion.

"Kamu udah ulangan matematika, ya?"

"Udah. Kamu?"

"Emm …. Besok."

"Oooh."

Safira menatap cowoknya keheranan. Cuma oh? Padahal Safira ingin sekali Zaki menjawab lebih. Mungkin Safira harus bertanya hal lain untuk memancing Zaki agar tahu maksud Safira bicara itu apa.

"Kamu ada waktu luang nggak, Zak?"

"Ha? Kayaknya enggak ada, deh. Nanti aku mesti ngerjain latihan olimpiade."

"Kamu ikut olimpiade lagi?"

"Iya, Fir. Kamu kok lupa sih? Kan yang wawancarain aku kamu. Aku udah bilang lhoh, waktu itu, kalau aku maju lagi ke tingkat nasional."

Tidak. Zaki harusnya mengerti. Kalau pertanyaan Safira bukan karena cewek itu lupa. Tapi sebagai usaha agar Zaki paham, kalau Safira ingin diajarinya matematika untuk persiapan ulangan esok pagi.

"Enggak masuk dulu, Zak?"

Safira turun setibanya di depan pagar rumahnya. Dia terus memegangi pundi-pundi tas selempangnya. Menatap Zaki tanpa berekspresi ceria seperti biasanya.

Sayang sekali Zaki masih juga tak bisa membaca raut muram itu. Dia justru masih dengan bebasnya mengulas senyum lebar. "Enggak, deh. Kapan-kapan aja, ya? Belajar yang rajin ya, Fira! Aku pulang dulu! Titip salam buat ibu kamu, sehat selalu! Dah, Fira!"

###

Saat itu usia pacaran kita sudah hampir menginjak dua bulan. Hubungan kita sangat baik. Kamu selalu membantuku menyelesaikan tugas bahasa dan makalah-makalah praktikum biologiku.

Satu hal yang baru kusadari mulai hari itu. Ketika aku berlalu dari hadapanmu, tak ada senyum sumringah. Tak ada salam darimu untuk nenekku, karena memang hanya ada kami berdua di rumah, dulu ketika kedua orangtuaku bekerja di luar daerah. Tak ada pula lambaian tangan, memberiku pesan agar hati-hati. Aku yang curiga hanya bisa mengamatimu dari spion.

Di kejauhan sana kamu seolah tengah memandangku dengan begitu gelisah. Senyumku pudar waktu melihatmu seperti itu. Aku terus memperhatikanmu, memperkecil kecepatan motorku. Kulihat kamu menunduk, lalu beranjak pergi, masuk ke rumah. Aku kembali untuk memutar arah. Lantas berhenti di depan rumahmu. Cukup lama aku di sana. Sampai aku mulai merasakan ada yang salah. Dan akulah penyebabnya. Entah apa.

Setelah hari itu, kamu agak berubah. Kamu sulit untuk kutemui, bahkan untuk sekadar makan siang di kantin. Kamu selalu beralasan sedang diskusi bersama teman untuk mading dan acara kecil di akhir bulan yang biasa digelar anak jurnalistik. Aku tak tahu apakah itu memang caramu untuk mengelak, yang pasti, aku merasa kamu sedang berusaha menghindariku.

Sampai kemudian, ada satu hari, di mana aku benar-benar mulai mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi. Terutama pada kamu, Safira. Dan karenanya aku sungguh menyesal tak pernah bisa membaca kemauanmu yang begitu sederhana.

###

Tinggal Sapa [5/5 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang