Menit Keempat

38 4 0
                                    

[Untuk Merenung]

"Sabtu nanti saya tunggu sepulang sekolah ya?"

Zaki tersenyum seraya mengangguk. "Siap, Pak!"

Guru matematika itu menimpali senyum Zaki sebelum akhirnya berbelok arah. Sejak keluar dari kelas Zaki, mereka berjalan beriringan untuk membicarakan seputar prosedur olimpiade di tingkat nasional pada tahun-tahun sebelumnya. Sampai akhirnya pertigaan antara gedung kelas bahasa dan koridor menuju ruang guru memisahkan.

Zaki berniat untuk pergi ke kelas Safira. Namun, niatnya tertahan tatkala tiga orang cewek berjalan berlawanan arah. Tatapan mereka mengarah pada kedatangan Zaki. Membuat Zaki jengah karena mata mereka tak menyorotkan keramahan sama sekali.

Zaki masih diam, bahkan meskipun ketiga anak itu telah melewatinya. Justru, dia semakin terpaku ketika salah satu cewek itu berbisik pada temannya, untuk menyindir pacarnya.

"Si Safira itu lhoh, goblok banget. Punya pacar juara matematika kok sampai dapet remidi di ulangan limit. Nggak minta diajarin sama pacarnya, apa?"

"Namanya pacaran mah, yang baik-baik kelupa, udah."

"Yang diomongin Hobbit sama Elf mulu, sih. Ya gitu deh, jadinya, halu."

Mereka tertawa. Zaki membatu di tempat. Tertohok dengan kalimat tersebut.

###

Sungguh, aku sangat sakit hati dengan perkataan mereka. Tapi, dari mereka, aku justru tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan. Apalagi teringat perkataanmu minggu sebelumnya. Bahwa kamu hanya ingin aku meluangkan waktu untuk membantumu belajar.

Lebih menyesal lagi, ketika aku ingat saat kita di kantin bersama, dan kamu memberiku kuis-kuis kecil untuk bahan belajar ulangan bahasa Indonesia. Kamu bahkan dengan begitu baik memberikan begitu banyak soal yang ternyata keluar di ulangan. Kamu juga membantuku memperbaiki laporan biologi ketika penataan tulisanku berantakan. Membantuku menyusun esai PPkn tentang betapa penting peraturan dalam masyarakat, hal yang begitu sederhana tapi mampu membuat Pak Toni berdecak kagum.

Kamu, kamu selalu membantuku, Safira.

Sadar akan hal itu, aku terus mencoba untuk menghubungimu sesering mungkin. Menanyakan kapan lagi kamu akan ulangan matematika. Melupakan sejenak tentang olimpiade matematikaku demi menyisihkan waktu untuk mengganti waktu-waktu ketidakpekaanku akan dirimu dahulu. Tapi mau seberusaha apapun, aku sudah terlambat.

Laki-laki tidak pernah peka. Itu yang sering dijadikan kalimat status seorang gadis ketika sedang merasa jengkel pada cowoknya. Tadinya aku selalu menyangkal, karena tidak semua laki-laki begitu dan aku pun tidak setuju. Ternyata, pernyataan itu benar menjadi kenyataan setelah aku melewati waktu bersama kamu selama hampir dua bulan.

Hampir dua bulan aku membiarkanmu dalam gejolak kesal yang kamu bungkam. Kamu selalu saja menunjukkan wajah berseri seakan selalu baik-baik saja. Mengatakan tidak apa-apa ketika sebenarnya masalah menimpa. Tersenyum di saat sesungguhnya kamu ingin menitikkan air mata.

Kalau laki-laki tak pernah peka, apa itu karena perempuan yang memang selalu pandai menyimpan rapi segala sesuatunya?

Percuma aku menyalahkan kamu yang enggan berterus terang. Toh aku memang laki-laki egois yang tak becus memahami perasaanmu. Karena kamu adalah perempuan yang tampak seperti sebuah persamaan dua variabel yang tak memiliki pasangan serupa, membuat keduanya selalu menjadi teka-teki sulit untuk dipecahkan. Kamu ternyata lebih rumit.

Aku akui itu. Sayang sekali, bahkan, sejak kamu menyatakan bahwa mungkin kita tak seharusnya bersama, aku tak pernah benar-benar mengakuinya di hadapanmu. Tak pernah sama sekali, sampai sekarang, sampai ketika kita bertemu lagi di saat semuanya telah berubah.

###

Tinggal Sapa [5/5 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang