Hujan dan Pelangi

946 103 2
                                    

"Mashiro gak suka hujan."

Ichiro mengalihkan perhatiannya pada Mashiro yang menggeser duduk mendekatinya. Mata anaknya mengarah pada jendela, di luar sana sedang hujan. Tidak terlalu deras, namun kelihatannya cukup mengganggu pendengaran Mashiro.

"Kenapa gak suka, sayang?" Tanya Ichiro lembut.

"Banyak petir, bunda. Mashiro gak suka," jawab Mashiro tanpa membuang pandangan dari jendela. Sesekali ia menggenggam lengan bundanya saat suara petir terdengar. Gemuruh di langit juga membuatnya semakin menempel pada sang bunda. "Hujan berisik. Pokoknya Mashiro gak akan suka hujan."

Ichiro meletakkan novel yang sedang ia baca. Ia meraih ponselnya, lalu menghubungi Samatoki yang belum pulang. Mashiro hanya bisa memiringkan kepala karena bundanya tidak menanggapi ucapannya mengenai hujan.

"Bunda...?"

"Oh, udah terhubung nih," kata Ichiro tiba-tiba, kemudian mengarahkan layar ponsel pada anaknya. Rupanya ia melakukan video call dengan suaminya. Di ujung sambungan, Samatoki terlihat bertanya-tanya.

"Ayah!" Mashiro sontak berseru pada ayahnya. Ia ingat tadi pagi ayah berjanji untuk pulang cepat dan membawa mobil-mobilan yang diinginkannya sejak lama.

Senyum Samatoki terukir ketika melihat anaknya mengembungkan pipi. Pasti ingin membicarakan soal pesanan dan janjinya. "Mobil-mobilan kan? Sebentar ya gah, ayah masih belum bisa pulang. Hujan deras disini," kata Samatoki, lalu mengarahkan ponselnya ke luar. Ia tidak berbohong, di sana hujan lebih deras ternyata.

Sebenarnya bukan itu tujuan Ichiro menelpon Samatoki, tetapi boleh juga topik pembuka ini. Ichiro mengarahkan layar agar wajahnya juga terlihat. "Wah, hujan juga di sana. Mashiro sabar ya tunggu ayah pulang," katanya seraya mengelus punggung anaknya. "Ngomong-ngomong, yah, ada yang bilang gak suka hujan nih," ia melanjutkan dengan nada jahil.

Mashiro segera menatap bundanya. Tergambar ekspresi bingung di wajahnya. Apakah bundanya tidak suka kalau ia benci hujan?

"Oh ya? Kok gak suka?" Setelah menanyakan itu, suara menggelegar mengagetkan Samatoki di ujung sambungan. Wajahnya yang sedikit konyol saat terkejut membuat Mashiro dan Ichiro tertawa kecil.

"Hujan banyak petir, yah. Mashiro gak suka suara petir," kata Mashiro setelah tertawa beberapa detik. Kasihan ayahnya jika terus ditertawakan.

"Gak suka hujan atau gak suka suara petirnya?"

Mashiro berpikir sejenak. "Petir..."

"Terus, kok tadi bilang hujan?"

"Habisnya petir cuma ada saat hujan," Mashiro cemberut lucu. Ganti Samatoki yang tertawa melihatnya.

"Tapi ada yang bagus setelah hujan, lho," kata Samatoki. Mashiro menampilkan raut penasaran. Menoleh ke bundanya, namun bunda hanya memberi seulas senyum. "Nanti deh, ayah tunjukkin kalau disini udah- eh, udah berhenti nih," Samatoki langsung mengarahkan layar ponselnya ke langit.

Hujan di sana ternyata sangat deras namun lebih singkat dari perkiraan. Kebetulan sekali. Awalnya Mashiro tak menemukan apapun, jadi ia ingin protes pada ayahnya.

Namun beberapa detik setelah itu, matanya disapa oleh sesuatu yang membentang di angkasa. Objek tersebut berwarna-warni, namun membentuk suatu garis lengkung yang entah dimana ujungnya.

Iris hijau kemerahan Mashiro melebar. Pemandangan di sana sangat indah. Ia yang terpukau membuat Ichiro menampakkan senyum lebar. Tiba-tiba wajah Samatoki kembali terpampang di layar.

"Bagus kan?" Tanya Samatoki, nadanya terdengar bangga.

Mashiro mengangguk antusias. "Itu namanya apa, ayah?" Ia bertanya dengan semangat.

"Itu pelangi," jawab Ichiro dan Samatoki berbarengan. Bertatapan sejenak, mereka lalu tertawa bersama. Ichiro mempersilahkan suaminya untuk menjelaskan lebih dulu.

"Pelangi selalu muncul setelah hujan," kata Samatoki. "Petir cuma ada saat hujan, tapi pelangi juga cuma ada setelah hujan. Mashiro gak bisa lihat pelangi kalau gak hujan."

"Benar kata ayah," Ichiro menyetujui. "Kalau Mashiro gak suka hujan, gimana mau liat pelangi?"

Mashiro mengarahkan pandangan pada jendela, di sana masih terdengar suara hujan yang belum reda. "Mashiro mau liat pelangi," katanya sambil sedikit menunduk. "Tapi kalau ada petir, Mashiro gak suka..."

"Hujan cukup adil kok," ucapan Samatoki agak sulit dimengerti anaknya sehingga ia memikirkan kata yang tepat untuk menjelaskan lagi. "Maksudnya, gini... Hujan ada petir, tapi setelah itu, dia minta maaf dengan nunjukkin pelangi buat Mashiro. Biar Mashiro suka sama hujan. Masa Mashiro mau marah terus? Kan hujan udah minta maaf?"

Menggeleng pelan, Mashiro menanggapi, "Jadi, hujan kasih pelangi buat Mashiro?" Melihat bundanya mengangguk, sudut bibir Mashiro terangkat. Ia mengukir senyum lebar. "Kalau gitu Mashiro suka hujan! Mashiro mau liat pelangi terus!"

Ichiro bertepuk tangan. Anaknya pintar dan sangat lucu. Keberadaan Mashiro adalah berkah terbesar yang pernah didapatnya dan Samatoki. "Gitu dong. Mashiro anak baik. Hujan jadi senang udah disukain sama Mashiro," katanya.

"Tapi, bunda,"

"Ya?"

"Nanti disini ada pelangi juga kan?" Mashiro bertanya ragu.

"Pasti ada kok sayang, tunggu hujan berhenti dulu ya," kata Ichiro sambil mencium puncak kepala anaknya. Mashiro terlihat senang dan berharap hujan segera berhenti. "Sekarang, pamit dulu sama ayah."

Mashiro mengambil alih ponsel bundanya, mencium layar yang masih menampilkan wajah ayahnya, lalu berkata, "Dadah ayaaah! Mashiro mau tunggu pelangi. Ayah jangan lupa bawa mobil-mobilan yaa."

Samatoki tertawa dan mengangguk. "Iya, iya, ayah mau pulang nih. Nanti ayah bawa mobil-mobilan."

Setelah itu, Ichiro dan Mashiro melambaikan tangan sebelum mematikan video call. Selanjutnya mereka segera pergi ke lantai atas karena tampaknya hujan mulai reda.

Selang 45 menit kemudian, Samatoki pulang dengan box besar di tangan. Ia tak menemukan istri dan anaknya, namun langsung memutuskan untuk naik ke lantai dua. Mereka pasti sedang di sana untuk melihat pelangi.

Benar saja. Ia menemukan Mashiro yang duduk di pangkuan Ichiro sambil menunjuk ke angkasa. Terdapat sebuah pelangi yang indah di sana. Samatoki menaruh box mainan Mashiro dan segera mengeluarkan ponselnya.

"Mashiro, liat sini, ayah mau foto," kata Samatoki. Mashiro menoleh kaget, namun karena sedang senang, ia langsung berpose. Ichiro memeluknya dari belakang.

Sore itu, Samatoki mendapatkan foto terindah dalam hidupnya. Istri dan anaknya tersenyum amat tulus, ditemani pelangi yang membentang di belakang mereka.

MASHIROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang