Mata

903 86 6
                                    

Mashiro pulang dengan wajah murung. Ia tak mengatakan apapun walau sudah ditanya ayahnya berulang kali. Ichiro yang melihat pun keheranan. Tak biasanya Mashiro begini.

"Mashiro? Kenapa sayang?" Tanya Ichiro lembut. Ia melepas atribut sekolah Mashiro sambil menunggu sang anak menjawab pertanyaannya. "Ada yang nakal sama Mashiro? Atau Mashiro gak suka dijemput sama ayah?"

Masih menunggu. Samatoki dan Ichiro adalah tipe yang tak suka memaksa bila anak mereka tidak berkenan menjawab, jadi mereka membiarkan Mashiro mengumpulkan keyakinan dulu.

Tetapi kali ini Mashiro benar-benar tak seperti biasa. Bahkan untuk menjawab dengan anggukan atau gelengan pun enggan. Hal tersebut membuat orangtuanya cemas.

Demi apapun, jika ada yang berani macam-macam pada Mashiro, Samatoki takkan segan menghabisi orang tersebut. Baik itu orang dewasa atau teman sebaya Mashiro sekalipun. Ia paling benci pembullyan dan jika anaknya menjadi korban bully maka takkan ada ampun untuk pelakunya.

Waktu berlalu dan sudah cukup lama Mashiro berdiri tanpa sepatah katapun.

Samatoki mulai naik pitam. Bukan pada Mashiro, tapi pada siapapun yang telah membuat Mashiro jadi murung. Hampir saja ia kembali ke sekolah Mashiro untuk menemui guru di sana, namun Mashiro akhirnya menunjukkan gestur seperti akan menjelaskan sesuatu.

"Bunda tanya sekali lagi. Mashiro kenapa?" Ichiro mengulangi pertanyaannya, masih dengan nada tenang namun waspada. Ia sangat siap ambil tindakan, sama seperti Samatoki. Namun apa yang akan dilakukannya lebih dipikirkan dengan matang, tidak seperti Samatoki yang kemungkinan akan brutal.

"Ayah... Bunda..."

"Iya?"

Mashiro menatap mata ayah dan bundanya secara bergantian. Semakin lama tatapannya semakin sendu. Ia pun bertanya dengan suara amat pelan, "Mashiro anak ayah sama bunda, bukan...?"

Perlu waktu beberapa detik untuk kedua orangtuanya mencerna ucapan sang anak. Mereka berpandangan terlebih dahulu, lalu Samatoki yang maju untuk menjawab.

"Jelas anak ayah sama bunda. Emang ada yang bilang bukan?"

Mashiro menahan air mata yang hampir menetes. "Ada..." Katanya lirih.

Pelan-pelan Ichiro membawa Mashiro untuk duduk di sofa. Tas dan perlengkapan lainnya diletakkan di atas meja. Samatoki ambil posisi di samping Ichiro yang memangku anaknya.

"Siapa yang nanya?"

Tentu Mashiro takkan dengan mudah mengatakannya, jadi Ichiro segera mengganti pertanyaan Samatoki tersebut. Mungkin Mashiro mengerti suasana hati ayahnya sedang tidak bagus karena ayahnya tiba-tiba berkata dengan nada rendah. Mashiro memutar badan untuk memeluk bundanya. Wajahnya disembunyikan di dada bunda.

"Emang dia bilang gimana ke Mashiro?" Tanya Ichiro seraya mengusap lembut kepala sang anak. Ia juga balas memeluk Mashiro yang badannya mulai bergetar pelan.

"Mata..."

"Mata?"

"Katanya mata Mashiro cuma warna hijau. Matanya ayah sama bunda kan ada warna merah. Kenapa mata Mashiro cuma warna hijau, bunda? Mashiro bukan anak ayah sama bunda ya...?"

Untuk yang kedua kali, Samatoki dan Ichiro saling melempar pandang. Tampaknya mereka memikirkan hal yang sama karena setelah itu, keduanya kompak tersenyum geli.

"Ooh jadi karena mata? Kalo ayah bilang bener gimana?"

Mashiro ingin menangis kencang, tetapi Ichiro sudah lebih dulu memukul suaminya dengan bantal di sofa. "Jangan didengerin. Ayah bercanda sayang, nanti bunda marahin ayah."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MASHIROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang