"Bagaimana bisa!" seru Pienna tak terima melihat wajah tak bersalah dari sang ratu. Kemudian ke arah Cesyora. "Katakan padaku, Yora! Aku sudah membaca kemampuanmu! Perlukah kulaporkan kesalahannya?"
Pienna hendak berdiri. Wajah bahagianya yang cantik itu melebur menjadi khawatir. Teman yang didukung lebih dibandingkan peserta lain justru harus gagal di sesi terakhir.
"Aku mencantumkan nama Relis. Aku tak ingin ia menderita. Keluarganya menderita, Pienna. Lebih baik aku saja yang mengurangi beban ibuku. Dia perlu mengurusi adik-adiknya kelak."
Mata Cesyora berkaca-kaca. Air matanya turun ketakutan. Tangan yang gemetar sedari tadi itu memegang jemari Pienna.
"Kumohon, diam. Sampaikan padanya, bahwa aku ingin dia belajar sesulit apa pun. Senakal apa pun. Sekeras apa pun majikannya melarangnya belajar dan masalah lainnya."
Kali ini, sebelah tangan Pienna terangkat mengusap air mata Cesyora. Jantungnya berdegup kencang, membayangkan hal ini.
"Rumornya, ketidakjujuran ini akan menimbulkan petaka, Yora. Namun, itu rumor yang kudengar saat awal-awal dulu. Aku rasa, kita perlu membicarakannya."
"Tidak. Itu hanya mimpi. Hanya khayalan. Hati yang suci tak akan pernah mati."
Senyum terbit di wajah putih Cesyora. Sesekali, ia mengembuskan napasnya.
"Kau sangat kenapa-napa, Cesyora. Kau juga pantas untuk hidup. Itulah tujuannya."
"Tidak. Aku baik-baik saja dan akan selalu seperti itu," ucapnya setengah berteriak.
Sekarang, hanya ada tangis di di pelupuk mata Pienna. Kenapa Cesyora bisa berkata seperti ini di depannya? Jika Dewi Hestia mendengarnya, ia pasti akan senang. Namun, tidak untuknya.
***
Kloter 21, di mana Cesyora, serta dua gadis dengan rambut yang ditata sama dengannya berjalan. Disanggul serapi-rapinya. Pakaian mereka juga diganti gaun putih yang menutupi lengan atas. Tak ada pembicaraan sama sekali, kecuali pendeta perempuan yang mengaba-aba ke mana mereka akan pergi ke tempat terakhir di hutan ini.
"Kau terlihat takut," ucap seorang lelaki bergaya peterpan yang berjalan di sampingnya dengan gerakan bebas. Sedangkan Cesyora tangannya harus diikat agar tidak berbuat sesuatu. Konon, dulu ada yang ditusuk punggungnya secara langsung saat ada yang hendak kabur. Tak ada pengawal di sini. Mereka bilang, kehendak kuasa tak akan lepas. Cesyora juga tahu, itu bohong. Sesekali suara semak yang keras menandakan memang ada seseorang di kejauhan.
"Tidak, aku tidak terlihat takut." Cesyora terus berjalan dengan kaki polosnya.
"Wajahmu yang paling tak bisa dideteksi di sini," ujar laki-laki itu lagi. Pakaian lengan panjang dengan rompi karung, serta celana kusut, lengkap sepatunya.
"Kau tahu apa tentangku?"
Pendeta perempuan tiba-tiba berhenti menjalani jalan lima meter di tengah hutan yang pohonnya rimbun itu. Di sisi kanan mereka, banyak semak belukar, tak ada bunga indah sama sekali. Di perjalanan sebelumnya, bau busuk tercium. Berasal dari anggur basi tak terawat yang ditebar, seperti kotoran.
"Kau berbicara dengan siapa?" tanya pendeta perempuan. Cesyora menaikkan kedua alisnya.
"Dengan laki-laki ini." Cesyora melirik laki-laki yang terlihat bingung, kenapa berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Creditis
Fantasy"Jiwa yang suci tak akan pernah mati." Awalnya, Cesyora merapal itu dengan baik. Bahkan, di awal ujian sekalipun, ia yakin akan baik-baik saja. Namun, di pengorbanan anak-anak gadis Athena, Cesyora melihat salah satu anak yang membuatnya berubah pik...