3 - Unlucky Gurl

22 5 2
                                    


Tiba-tiba Ara melepaskan tangan Dashadari bopongannya, tubuh Dasha sedikit oleng

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiba-tiba Ara melepaskan tangan Dashadari bopongannya, tubuh Dasha sedikit oleng. Untung Saveri bisa mengimbangi tubuh Dasha. Di depan gerbang, terlihat Bambam dengan sepeda motor antiknya, Si Daeng. Menopang dagu diatas motor vespa merah mengkilat, sambil melambaikan tangan pada sepupunya.

Ara menoleh pada Saveri, Dasha, dan Atha sambil berjalan mundur dan melambaikan kedua tangannya kemudian berbalik. Saveri menghela napas panjang, gagal sudah rencananya untuk mengantar pulang Ara. Atha juga pamit karena ojol pesanannya sudah sampai, tinggal Dasha yang belum pulang. Mereka memilih untuk duduk di pos satpam

"Mau gue anterin ga?"- Saveri menawarkan diri. Dasha menatap kedua kakinya, lalu menoleh pada Saveri. Ia menggelengkan kepalanya, mengatakan bahwa ia dijemput sopir pribadinya. Saveri hanya mengangguk paham, kemudia ia mengeluarkan handphone miliknya. Mengirim pesan pada teman sekelasnya, ia ingin nebeng saja hari ini.

Terlintas dibenak Saveri untuk bertanya nomor telepon Ara kepada Dasha, namun gadis itu buru-buru dijemput. Gagal sudah harapan Saveri yang kedua. Bruk, sebuah tas melayang tepat mengenai wajahnya. Saveri meringis, hidungnya mengeluarkan darah. Si empu-nya tas hanya nyengir dan melengos begitu saja menuju parkiran.

Saveri tetap mendongakkan kepalanya sambil memijat pangkal hidung mancungya supaya cepat berhenti. Tetesan darah mengenai celana abu-abunya, bakal susah dicuci kalo udah kering batinnya. Si pemilik tas kini telah menaiki sepeda motor ninja hitamnya, berhenti tepat didepan Saveri. Ia mulai memakai helm, mengisyaratkan agar Saveri segera naik. Saveri menurut, dan motor itu melaju meninggalkan sekolah.

***

"Ra, mau makan apa?"

"Hah?"

"Lo mau makan apa?"

"oh iya iya."

"Gue nanya lo mau makan apa, bukan nanya iya ato nggak!"

Bambam geram, suaranya sedikit serak. Ia butuh minum, dan memutuskan untuk berhenti di kedai thai tea depan minimarket. Ara masih diam di atas vespa, enggan beranjak dari sana. "Sampai kapan lo mau disitu? Turun gih, beliin minum. Haus gue." Ara selalu kesal dengan tingkah Bambam yang selalu minta dibelikan ini dan itu. Jangankan ganti rugi, merasa bersalahpun tidak.

Ara memilih untuk menuruti permintaan Bambam, atau ia akan diusir dari apartementnya. Bahkan Ara tidak mau membayangkan betapa menyedihkan jika ia tinggal di jalanan. Baru satu langkah ke dalam minimarket, Bambam sudah meneriaki Ara. "Gajadi beli minum deh Ra, ciki aja yang banyak. Stok di rumah abis." Ara hanya mengangguk lemas dan berlalu menuju rak makanan ringan.

Setelah memilah-milah makanan ringan kesukaan Bambam, Ara terpikir untuk sekalian membeli mie instant. Biar tidak susah payah memasak saat lapar tengah malam, pikirnya. Sesegera mungkin Ara menuju ke kasir, entah kenapa hari ini banyak sekali pengunjung. Matanya meneliti setiap sudut minimarket, oh diskon 90%. Ara terlonjak, buru-buru ia meninggalkan kasir dan kembali memasukkan banyak belanjaan.

Ara berjalan terseok-seok, beban belanjaannya terlalu berat. Tiba-tiba Bambam mengambil alih barang belanjaan yang dibawa Ara. Menginstruksi Ara untuk duduk di depan saja. Sungguh, ini kesempatan emas bagi Ara. Dompetnya terselamatkan lagi kali ini. Ia banyak mengucapkan terima kasih pada Dewi Fortuna, awal bulan yang menyenangkan.

Ara duduk di kursi depan minimarket. Seorang pegawai thai tea menghampirinya sambil membawa dua gelas thai tea coklat. "Dengan mbak Ara?" tanya pegawai itu. Ara merasa tidak memesan, hendak protes dan mengembalikan minuman itu. Atau setidaknya aia membayar salah satunya. Pegawai tersebut mengatakan bahwa minumannya telah dipesan dan dibayar oleh cowok dibelakang Ara. Ia menoleh mendapati Bambam yang mengajak untuk duduk dulu sebelum pulang.

"Tumbenan lu baik hati?"

"Elah sepupu laknat salah, baik salah... Ganti rugi sini! Lagian lu ngapa belanja banyak banget? Bukannya tadi gue nyuruh beli chiki doang?"

"Maklum emak emak suka jelalatan kalo liat diskon, hehe"

Bambam merasa bersyukur punya sepupu seperti Ara, dibalik kebobrokannya dia juga punya sisi keibuan yang sangat Bambam rindukan. Manusia di sebelahnya ini memang penuh kejutan, namun tak banyak orang yang menyadarinya. Bambam kembali menyeruput Thai tea-nya yang hampir habis, lalu mengecek handphonenya. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, Ara berdiri dari kursinya dan meminta Bambam untuk segera pulang.

Bambam tahu, Ara sangat butuh istirahat setelah bersekolah hari ini. Ia berjalan di belakang Ara sambil melihatnya yang sedang meregangkan punggung. Bambam berjalan mendekati Ara, lalu menjitak kepalanya pelan. Ara mendengus kesal, dan segera naik. Mereka berdua pulang dengan diiringi ocehan Ara sepanjang jalan.

****

Ara memencet kode pin apartemen milik Bambam dan segera masuk. Plakk! Sebuah tamparan mendarat di pipi kirinya. Banyak barang belanjaan teerlepas dan berserakan, ia jatuh membentur rak sepatu. Ara meringis dan memegang pipinya yang nyeri. Bambam segra membantu Ara untuk berdiri. Baru saja hidupnya sedikit tenang, kini wanita itu muncul lagi.

Miris, hidupnya memang begitu miris. Bahkan keluarganya sendiri tak mau menganggapnya sebagai anak yang baik, terlebih ibu kandungya sendiri. Ini bukan sepenuhnya salahnya, Ara tahu itu. Tapi mengapa harus ia yang menanggung semuanya? Ara goyah, bulir air mata sudah siap jatuh.

"Maaf, tante untuk apa datang lagi?"

"Hah? Untuk apa katamu?! Dasar anak gatau sopan santun!"

Bambam tersenyum kecut melihat tingkah laku wanita paruh baya ini. Terkesan tidak sopan memang, tapi ini sudah keterlaluan. Bambam membopong sepupunya ke kamar, mendudukkannya dengan hati hati serta menyuruhnya untuk segera membersihkan diri. Ara mengangguk tanda menurut, kemudian Bambam keluar dari kamarnya. Menemui wanita itu.

"Maksud tante tadi bilang saya kurang sopan dimana ya?" ucap Bambam tenang.

Wanita itu mendecih tanda tak suka.

"Kamu berbicara dengan orang yang lebih tua darimu, Bam!"

"Oh, jadi maksud tante gaya bicara saya kurang sopan. Lalu, apakah masuk kedalam rumah orang lain tanpa sepengetahuan dan izin pemiliknya dianggap sopan?" desak Bambam dengan mengeluarkan senyumnya. Wanita itu kesal, ia segera membuka pintu. Namun baru satu langkah keluar, ia masuk kedalam lagi guna mengambil tasnya yang ketinggalan. Wajahnya merah padam, malu tuh pasti, batin Bambam.

Bambam berbalik menuju kamar Ara. Saat membuka pintu, Bambam melihat Ara duduk sambil memeluk lututnya. Tidak terdengar isakan memang, tapi jelas ia tahu bahwa spupuny sedang menangis. Ia segera memeluk Ara dan mengusap pucuk kepalanya beberapa kali. Ara membalas pelukan itu, dan menangis di pelukan Bambam.

"Maaf, gue....nguping. Peri gigi gaakan manjangin kuping gue kayak pinokio kan Bam?" ucap Ara yang masih sesenggukan. Bambam mengusap wajahnya kasar. Ini anak gabisa bedain situasi banget, lagi sedih masih aja nyempetin ngelawak. Lalu ia melepaskan pelukannya perlahan, tangannya berpindah memegang kedua bahu Ara. Bambam menatap manik hitam Ara dengan serius.

"Lain kali nangis boleh, tapi ingus lu dikondisikan ya, sista. Nih cuciin seragam gue." Titah Bambam.

Ekspresi Ara sekarang seperti Saitama, pokerface. Baru saja ia bersyukur Bambam baik hati, namun sekarang jiwa iblisnya kembali lagi. Terpaksa ia mengambil seragam Bambam dan pergi ke ruang cucian dengan kesal. Ia menghentakkan kakinya berkali-kali, meluapkan emosinya.

"Kalo pipi lo masih nyeri, mending nggausah kerja. Istirahat aja, biar gue yang ngizinin."

Ara menoleh kearah pintu, ia kaget melihat kepala Bambam yang nongol dibalik tirai. Sepupunya itu hanya meringis lalu pergi. Banyak-banyak Ara ucapkan istighfar sambil mengelus dada.

Punya sepupu gini amat.

VetroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang