Takzir Semanis Takjil

47 1 0
                                    

Liburan telah usai jum'at kemarin, dan ini sabtu yang melelahkan. Adzan subuh belum juga berkumandang, setengah empat, tentu saja dingin menusuk saat perjalanan melelahkan lintas kota Lamongan-Kediri. Di sinilah aku sekarang, Ponpes Al-mubtadi-ien, orang sekitar lebih mengenalnya pondok Pak Long, jangan tanya aku kenapa, karena itu juga masih menjadi misteri untukku.

"Dek dis panggil Bu Ulya, disuruh ke kamar musrifah," tegur Mbak Junior.

Aku kaget, sekaligus kesal, belum juga selesai merapikan pakaian-pakaian di lemari. Batinku sibuk menerka sebab-musabab, sampai aku harus dipanggil ke kamar musrifah, kamar horor bagi para santri yang mendapat panggilan dari Bu Ulya, alias ketua musrifah, pasti akan ada takziran setelah keluar dari kamar itu, yakinlah takziran tak semanis takjil ramadhan.

"Dis bareng yuk, mau ke kamar musrifah juga kan?" ajak Mbak Era.

"Eh, Mbak juga dipanggil?" tanyaku sedikit ragu, mana mungkin santriwati teladan seperti Mbak Era juga dipanggil takzir. Ayo khusnudhon Dis, batinku menguatkan, mungkin saja kali ini bukan panggilan takzir.

*********

Niat khusnudhonku ambyar, ternyata memang panggilan takzir, sia-sia aku berbaik sangka. Hukuman kali ini dengan alasan balik pondok telat, what? padahal biasanya juga telat, kenapa baru kali ini dihukum dan kenapa pas banget ada aku? Apa mau dikata, takziran tetap takziran, santri salah yang tetep salah, tidak ada hukum negoisiasi dengan ketentuan-ketentuan ponpes.

Hukuman pertama ini memang tak butuh tenaga, tapi butuh kekuatan mental, Baca surah At-Taubah di depan dalem Kiai. Pemandangan langkah bukan? ketika para santriwati yang terkenal takdimnya, sekarang berbaris rapi di depan dalem serentak karena ditakzir. Sikap tak acuhku ternyata berguna juga, ketika yang lain sibuk menutupi muka sebab malu, takut ada santri putra yang lewat, aku dengan santainya bersandar dan menikmati takzir ini dengan bangga, bolehlah dianggap tak waras, dibanding lelah, meruntuki salah.

Jam setengah tiga, hukuman pertama tuntas, tapi esok masih ada ronde kedua, bukan lagi hukuman ngaji atau hafalan, kali ini cukup menguras tenaga secara berlebih, untung saja sudah terbiasa dengan ro'an.

Malam selalu lebih baik, sebab aku lebih menyukai saat-saat madin, madrasah diniyah, daripada dipondok, bukan bosan dengan rutinitas di pondok, hanya saja aku sudah rindu dengan kelas ramai dengan celotehan anak-anak satu wustho. Kelas paling terkenal dengan muridnya yang bandel, yang selalu dapat perhatian lebih dari Mudhir 'Am, Pak Sholikhin, karena murid-muridnya yang terlalu heterogen.

Pecah, bukan suasana hening khas kelas-kelas madrasah biasanya di hari pertama masuk, kelas dengan 15 santri, meski begitu hanya 6 yang saat ini ada di dalam ruangan, hari biasanya pun tak selalu lengkap, maklum tak semua mukim di pondok sepertiku, kebanyakan santri kalong yang mukim di rumah masing-masing.

Alya, Nabila, Aghis, dan Aku seperti biasa duduk melingar, asik bercerita tentang sekolah masing-masing dan rencana-rencana liburan yang mustahil, tak luput pembicaraan tentang makanan adalah favorit kita, buku, pelajaran apapun yang kita rasa baik dan tidak ghibah, ada alasan lucu yang mendasarinya. Suatu hari waktu pelajaran washoya, bab yang dibahas adalah hubungan dengan teman dan tentu saja kelas ramai dengan perdebatan tentang ghibah, regu perempuan membela diri saat regu putra menyorakinya, kelas gaduh tapi kelas lain sudah maklum dengan tingkah kita yang lebih seperti anak-anak TK, memperdebatkan semua hal yang baru saja menjadi materi.

Malam rabu, pelajaran shorof dan ustadznya yang tidak pernah absen, ataupun telat. Tepat jam setengah tujuh, pak likud sudah stand by di depan kelas. Setoran tasrif dan pasti selalu ada saat-saat menjengkelkan ini, ya panggilan pertama maju selalu, deng, deng, deng.

"Disa," panggil pak likud dari luar kelas.

"Aku, beneran ini? Belum baca sama sekali, yang lain duluan gih," pintaku, yang pastinya tidak akan dikabulkan yang lain.

"Arek pondok mosok gak apal seh," sahut nabila. Dia bukan mengejek, tapi selalu mencari aman untuk gilirannya.

"Halah dis, biasanya juga kamu. Tinggal maju aja sih enggak usah dipikir," imbuh Fuad.

"Ra dipikir rumasamu apalan tanpa persiapan enek ye?" aku menggumam sambil melangkah keluar. Tenang disa, tenang, jangan emosi, pasti hapal kok, batinku mencoba menguatkan grogi.

Hapalan lancar, tapi ada lagi yang mengganjal di hati, tadi sepulang madin, Mbak-mbak pengurus datang dan memberi tahu bahwa rabu depan akan diadakan lomba dan setiap kelas wajib ada perwakilan. Astaghfirullah hal adhim, semua sepakat menunjuk aku sebagai perwakilan baca kitab. Alasannya simpel, aku santri pondok dan yang harusnya paling paham tentang nahwu-shorof diantara teman-teman yang lain, padahal mereka juga tahu, setiap kali pelajaran pak likud aku sering ketiduran saat penjelasan. Uh sial.

Suasana di atas jam sebelas malam, belum juga sepi. Setelah taqror di mushola, kebanyakan masih asik dengan candaannya, maklum banyak cerita saat liburan baru saja usai. Tidak berbeda jauh dari kamar yang lain, aku dan fani juga sama, sibuk bercerita, hanya berdua, karena yang lain sudah lelap dalam balutan selimutnya.

"Dis, masak yuk," ajak fani, tanpa sadar ini sudah tengah malam.

"Udah malem Fan, amu luweh ye?" Tanyaku gemas.

"Kangen masak mie bengi karo amu aku no," kilah fani.

"Halah, alasan ae Pan, pPani. Kamu bagian masak, aku bagian isah-isah, ok?" tawarku. Kebiasaanku dan fani, tengah malam sering membuat keributan di dapur.

Dingin menyelimuti, saat tangan-tangan membangunkanku. Pukul dua dini hari, saat ku lihat jam tepat di samping lemariku, ku sempatkan berwudhu dan tahajut. Berdo'a, aku rindu tenang, aku rindu pelukan malam, kucurahkan semua keluh dan gelisah, ketakutan dan kekalutanku. Aku nyaman menangis, mencurahkan rindu, sebab tak ada mata-mata yang menatapku. Segala harap dan hajat kuteguhkan. Aku lupa waktu sampai ketenangan ini melelapkanku.

*********

Agenda pagi ini, minggu pagi yang melelahkan. Takziran tetap berlaku, bersih-bersih khamam, oh kobokan yang paling menguras tenaga, dalamnya dua meter lebih dan beruntungnya aku yang dapat bagian masuk kedalamnya. Saat pembagian, setiap anak dapat jatah dua kamar mandi, karena aku yang biasa membersihkan kamar mandi musrifah, tanpa pikir panjang dan pertimbangan Mbak Ama menulisku di bagian kamar mandi musrifah, dia memang paling tahu apa yang kumau. Lagi, karena yang lain sudah mendapat dua kamar mandi untuk dibersihkan, akhirnya bagian kobokan menjadi jatahku dan Mbak A'yun.

Bukan sebal, jengkel, ataupun protes, takziran bersih-bersih khamam selalu menyenangkan bagi kami. Setelah menyelesaikan takziran, masih ada satu hal yang harus kita lakukan, membersihkan jemuran. Enam santriwati dengan peralatan khas tukang kebun, pacul, aret, linggis dan gerobak sampah. Selalu ada hal-hal menyenangkan dari sebuah takziran, selain bersenang-senang dengan air dan lempar-lemparan rumput, setelah semuanya usai ada es serabi yang menunggu, uh, takzir semanis takjil. Rasanya bukan seperti hukuman, tapi ro'an.

Aku pernah juga ditakzir karena keluar malam diatas jam delapan, padahal waktu itu benar-benar mendesak, aku udzur dan di koprasi santri pembalut kosong, wal hasil aku keluar ke toko terdekat untuk beli, sialnya di jalan aku dan Dina malah berpapasan dengan Bu Iis. Dina, harus membaca surat Al-Kahfi, sedangkan aku membaca Dhiba', sampai Dina selesai.

Takziran santriwati memang tidak seberat santri putra, pernah karena ketahuan merokok di lingkungan ponpes tiga santri putra dihukum berendam di kobokan dengan air yang penuh, jam sembilan selepas pulang madin sampai jam sepuluh. Aku tak bisa membayangkan sedingin apa dan yang pasti sulit bernafas.

Pernah juga ketika pelajaran sejarah kebudayaan islam, Pak Muzani bercerita, bagaimana sulitnya ketika harus setoran hafalan, ketika telat satu menit saja hukumannya dipukul dengan ranting pohon jambu sampai hancur, aku meringis, pasti sakit hingga berdarah. Sekarang para santri yang dididik dengan keras itu malah menjadi kiai-kiai hebat di pesantren-pesantren besar.

Aku benar-benar takjub dengan semua kisah yang diceritakan para Ustadz dan Ustadzah saat mengajar.

*********

Next ya.....

Bukan Penjara SuciWhere stories live. Discover now