Catatan 3. Kok, Bisa?

21 0 0
                                    


Dihiasi cahaya temaram dari ruang tamu, gue dan Dimas duduk di teras depan. Membisu. Saling memandangi surat dari Mak Lampir yang mampir dan dengan bejatnya membuat mood gue naik-turun. Dua gelas kopi dan satu kotak martabak tampaknya belum berhasil mencuri perhatian kami dari selembar kertas HVS A4.

Dimas berdeham. "Jadi, surat ini dianterin sama bapak-bapak?"


Gue mengangguk. Terlalu berat suara ini membalas.


"Ternyata begitu maunya Mak Lampir."


Gue mengangguk lagi.


Hening.


Dimas dan gue bertatapan.


Segaris senyum perlahan terbit.


Kami berdua tertawa lepas.

"GUEEEEEE RESMI DIPECAAAATT!!!!!!!" teriak gue.


"Selamat ya, bro! Gue ikut seneng!" kata Dimas sambil mencomot sepotong martabak manis.

Sejarah telah tercetak! Ada orang yang memberi selamat atas dipecatnya seseorang dari pekerjaannya. Cuma orang tak berperikemanusiaan yang bisa melakukan itu. Namun hanya orang yang cukup gila yang sanggup berbahagia karena kehilangan pekerjaannya.


Dan bagi siapapun yang mendengar percakapan kami malam ini, pastilah mereka berpikir kami berdua sedang mabuk.

****


Tadi siang.

Gue pandangi amplop coklat di tangan. Tenggorokan gue terasa kering. Kering yang menyakitkan. Apakah keputusan nekat ini akan berujung mengerikan? Apakah yang Dimas bilang kemarin akan terbukti?

Perlahan, gue buka dan menarik selembar kertas putih dari dalamnya dan makin lemaslah diri ini.

Isi surat itu adalah ... surat pemecatan resmi yang ditanda tangani oleh Mak Lampir! Hell yeah!

Posisi duduk gue melorot saking lemasnya. Lemas karena lega. Setelah berkali-kali berjuang meloloskan diri dari tatapan nafsu Mak Lampir, akhirnya usaha gue terbayar. Terima kasih telah memecat gue!

Oke. Mungkin apa yang gue perbuat sekarang ternyata menimbulkan rasa-rasa iri di luar sana. Ya, siapa, sih, yang tidak kepingin ada di posisi gue? Gaji gede, kerja nyantai, di sayang bos pula. Tapi untuk poin terakhir, gue sama sekali tidak mensyukuri.

****


"Gile! Baru kali ini gue nyelamatin orang gara-gara dipecat! Baru kali ini!" ujar Dimas. Malam semakin larut. Tiga batang rokok telah dia isap. Secangkir kopi buatan gue dan sekotak martabak yang gue siapkan untuknya pun tinggal kenangan.


"Baru kali ini juga gue dikasih selamat gara-gara dipecat. Hahaha!" balas gue sambil mengibas tangan. Mengusir asap rokok yang melayang-layang bejat di depan gue. Gue bukan perokok, tapi tidak cukup tega untuk menegur Dimas supaya menjauhkan asap rokoknya. Siapa yang goblok?

"Terus rencananya lu mau ngapain?"

Gue mengangkat bahu. "Tauk, Dim. Gue belum kepikiran mau ngapain. Tapi buat sekarang, palingan gue pengin istirahat dulu."


"Lu udah bilang orangtua di Semarang?"


Gue menggeleng. "Mereka jangan sampai tahu."


"Kenapa?"


"Karena orang-orang rumah terlanjur bangga. Gue, Kevin Setyawan, anak kampung yang jadi sekretaris perusahaan gede. Kerja di kantor bergengsi, penampilan necis setiap hari, kirim uang lebih buat orangtua demi menopang hidup sehari-hari. Gimana jadinya kalau tiba-tiba gue bilang bahwa gue dipecat? Bisa mati berdiri ntar."


Dimas terbahak. "Ya, ya, ya. Kevin Setyawan. Anak rumahan yang polos, ndeso, hidup dalam aturan yang ..." Dimas memperhatikan gue dari kepala sampai kaki. "Yang begini."
Gue hanya tersenyum. "Gue memang kuno, Dim. Bukan anak kota kayak elu. Bukan anak yang punya pikiran open-minded kayak orang-orang di kantor..."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Catatan Seorang Pengangguran [Real Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang