17. 🍃Tatapan seteduh telaga🍃

33.2K 1.5K 32
                                    

Matahari mulai merekah di ufuk timur. Gemersik dedaunan melambai pelan sebab desau angin, seolah bertasbih mengagungkan sang penciptanya. Begitupula rombongan burung-burung kecil di cakrawala mengepakkan sayapnya sembari bertasbih pada Allah.
Karena sesungguhnya, Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

Cuaca pagi terasa sejuk karena sebagian langit biru mulai tertutup awan mendung. Seminggu setelah kembali dari libur pesantren, mereka mulai sibuk dengan aktivitasnya.

Dengan cepat, Aira mengikat rambut sebahunya. Lalu memasang ciput jilbab supaya tak ada anak rambut yang keluar. Ia mematut diri di depan cermin, di sebelahnya terdapat doa ketika bercermin, doa melepas dan memakai baju, hingga doa ketika mengoles celak tertempel pada dinding. Supaya tak lupa dan menjadi kebiasaan.

Kerudung seragamnya sudah rapi, ia membubuhkan bedak tabur tipis, lalu disempurnakan dengan pelembab bibir dan celak di bawah matanya.

"Jangan lupa cek kerapian, siapa tahu ustaz Fadly melakukan operasi dadakan," ucap Keysa yang sudah rapi sedari tadi. Sebelum jam pertama berteriak memanggil para santri, keduanya lekas bergegas menuju madrasah.

"Yakin nggak sarapan dulu?" tanya Keysa sesampainya di lapangan. Ia tak mendapat respon dari temannya. Sebal, akhirnya Keysa membuat cubitan kecil di tangan Aira.

"Sakit, yo." Aira mendengus kesal. Pasalnya ia hanya senyum terus sepanjang Keysa mengoceh.

"Ra! Yakin nggak sarapan dulu?"

"Nggak, Key. Nanti aja pas istirahat," jawabnya semangat. Mungkin karena hari ini jadwal ustaz Fadly , Aira menjadi seantusias itu. Ah, semoga niat utamanya tetap menimba ilmu dengan sungguh-sungguh.

Aira meletakkan buku-buku yang ia bawa tadi di atas meja. Sebagian teman belum ada yang datang, sebagian lagi seperti biasa merumpi di pojok kelas. Entah apa yang sedang mereka bahas.

"Semangat banget, sih. " Neng Ridha yang baru saja datang sengaja menyenggol pundak Aira.

"Setiap hari juga semangat,kok," sahutnya biasa. Ia lanjutkan menghapus papan tulis. Supaya nanti tidak menjadi korban kejahilan teman-temannya lagi.

Bel dua kali kini berbunyi, beberapa kelas sudah terdengar lantunan kalamun dengan nada merdu. Aira yang kebetulan berniat membuang sampah di depan kelas, mendadak kembali masuk dengan jantung berdebar.

Kalamun kini terlantun di kelas mereka setelah Aira memberi kabar bahwa ustaz Fadly sudah tiba di depan kelas. Ingin rasanya saat itu ia berganti bangku pada bagian belakang saat ustaz Fadly yang ia rindukan selama liburan kembali duduk di singgasananya. Setelah salam dan bertawasul kepada Rasulullah, Ustaz Fadly mengedarkan pandangan yang seteduh telaga itu pada murid-muridnya.

"Silakan berdiri!" ucapnya tegas namun tetap tenang. Ia kemudian berjalan melewati murid-murid remaja itu yang sebagian tampak gugup, sebagian tenang-tenang saja seperti Aira. Namun, hatinya tak henti merapal istighfar, karena ia sadar dosanya semakin bertambah setiap ustaz itu mengajar di kelasnya.

Diam-diam mereka melihat kerapian seragam. Jantung berdetak begitu cepat saat mereka pikir bahwa Ustaz Fadly mengadakan operasi dadakan. Dilihat dari ekspresi wajahnya yang tenang, mereka semakin dibuat resah.

"Ice breaking," ucap Ustaz Fadly setelah kembali pada tempat duduknya. Kalimat hamdalah keluar satu persatu dari bibir mereka. Padahal sudah jantungan menantikan titah apa yang akan diberikan oleh ustaznya itu.

Ustadz, Aku jatuh Cinta [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang