2

3.3K 372 13
                                    

°°°

"I really be feeling like nobody deserves me"

Aku menatap gedung-gedung pencakar langit kota Seoul dimana pria disampingku tengah tersenyum seperti orang bodoh dengan mengapit sebatang rokok di antara sela jari telunjuk dan tengahnya.

"Don't listen to what people say, watch what they do."  ucapnya datar.

"Do more what makes you happy."

tumben waras.

"Hei Kiel I'm fine..." dia tertawa mematikan rokoknya dan membuangnya di asbak biru diatas meja kebesaranku.

"Ya aku tahu."

kami sama-sama diam menikmati pemandangan kota Seoul di musim semi, dengan pikiran masing-masing dan tentunya berstatus orang asing yang datang ke negara Korea. "Kapan kau akan kembali ke negaramu?" aku menyisir rambutku membelah poni dengan ke lima jariku berjalan menuju sofa hitam. "Aku ngga tau Kiel, how about you?" pria ini kembali tertawa.

"Aku masih menikmati tinggal di negara ini... gatau sampai berapa lama bertahan."

Dia menghela napas dan meraih smartphone di sakunya. "Masih mencarinya?" Kiel menatapku dengan tatapan sendu dan mengangguk pelan.

"Sad and beautiful is a dangerous combination." pria dengan rambut pendek pirangnya menatapku kosong.

"You know Lis, someday.... I hope that my sadness will be replaced by something beautiful." aku tersenyum meraih botol wine di kulkas kecil samping sofa tempat aku duduki.

"Beautiful? like me,?" Kiel menatapku horor.

"I'm gay!!" ucapnya sebal.

Aku tertawa dengan lirih menatap langit-langit ruanganku. "Ingin merasakan jatuh cinta sejatuh-jatuhnya." ucapku seraya meneguk segelas wine kembali melihat bertapa padatnya kota Seoul di siang hari.

Kiel bangkit berdiri disampingku dengan memasukan kedua tangannya ke dalam saku. Menatap hal sama dengan helaan nafas ia tersenyum lirih terlihat oleh pantulan kaca dihadapan kami. "Aku yakin diantara orang-orang pejalan kaki di bawah sana.. mereka memiliki perasaan yang berbeda dan mendumal dengan beban berat di hatinya." ucap pria di sampingku.

Aku mengangguk setuju.

"Ada yang tersakiti dan melepas pergi," katanya memijat pangkal hidungnya.

"Padahal ia masih mencintai, tetapi ia tahu sudah tidak dicintai lagi." aku tersenyum tipis memegang bahunya.

Kembali hening diantara kita. Ekor mataku menatapnya tengah menahan mati-matian agar air mata tidak mengalir dipipinya.

"Ia pun tahu ia menaruh hatinya di tempat yang tidak semestinya.... lalu ia pun bertanya pada semesta perihal hati yang fana." ucapnya lirih kemudian mengigit pipi dalamnya menahan nada ucapannya agar tidak terdengar lirih dan bergetar.

Kiel tersenyum miris dengan air mata yang gagal ia simpan di matanya mengalir begitu tidak sopan jatuh mengenai pipinya. "ketahuilah ia ingin tetap tinggal dan bersuara." ucapnya kalah dengan bahu bergetar dan mengenggam jemarinya erat di sakunya.

C H O I C E (Jenlisa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang