Di meja nomor 5 kantin Puja Sera.
“Hai, Cantik!” seru pria berbadan jangkung saat melewati gadis yang sedang makan seporsi cilok dengan lahap.
Tia, nama panggilan dari Jessica Tiara Devi. Umur kisaran 21 tahun. Hobi makan cilok plus es kuwud. Punya cita-cita ingin jadi burung. Dan status hubungan mirip jemuran. Dia adalah sang pemeran utama dalam cerita anti-mainstream ini.
Sejenak, Tia menghentikan aktivitasnya. Ia melirik sekilas sosok yang menyapanya itu. Orang kurang kerjaan, pikirnya. Lalu ia kembali menandaskan makanannya.
Tiga piring cilok sisa sedikit plus dua gelas es kuwud telah berhasil ia takhlukkan. Tia tampak duduk bersandar di kursinya. Dia kekenyangan. Mantap. Kali ini perutnya terasa begitu penuh. Ingin meledak saja rasanya.
Hrrkk!
Beberapa kali ia sendawa kecil. Lega. Nggak sopan? Emang ada yang pedulu? Dan hal itu tentu saja mengundang perhatian orang-orang yang melintasinya. Disusul dengan pernyataan yang sangat tidak enak didengar.
"Cantik-cantik kok jorok," gumam salah seorang mahasiswa berambut pendek yang membawa seporsi nasi goreng dan es teh hangat.
Tia memandang gadis itu dengan ekor matanya. Ia ingin sekali menjambak rambut orang itu. Tapi ia berusaha tenang dan bersikap acuh tak acuh. Mengabaikan semua omongan tak penting yang menimpa dirinya. Meski dalam hati ia mengumpat sejadi-jadinya.
"Cih!" Dia mendesis sebal. Tapi itulah takdirnya. Baginya, bukan hanya rindu saja yang berat. Menjadi gadis cantik itu juga sangat berat, Guys. Ujiannya ada di mana-mana. Godaannya bisa datang kapan saja. Mulai dari yang sirik sampai ke yang hanya berani lirik-lirik.
Kemudian dengan malas ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Berusaha mengalihkan perhatian. Ia memencet tombol ON/OFF di sebelah kanan atas untuk memastikan apakah ada notifikasi atau tidak. Dan jawabannya pasti selalu ada.
Ada dua puluh chat lebih menunggu dibaca dan tentu saja yang paling penting adalah menunggu dibalas. Tapi lagi-lagi Tia masa bodoh. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Mengabaikan chat-chat tidak penting dari para penggemar. Kini pandangannya lurus ke depan.
Dari jarak yang tak terlalu jauh, dua orang perempuan tampak berjalan menuju mejanya. Mereka saling menyalip. Seolah memperebutkan juara pertama untuk mendapatkan tempat duduk tepat di sebelah kanan Tia.
Ya Tuhan. Es teh mereka sampai tumpah-tumpah akibat saling dorong. Tia sudah hafal betul pemilik muka itu. Siapa lagi kalau bukan Almeera dan Vera.
“Gue di sini!” pekik Almera.
“Nggak! Gue yang duluan duduk sini! Gue udah terlanjur duduk di sini! Gue yang menang! Lo harus terima!” teriak Vera tak mau kalah.
“PINDAH!” bentak Almeera.
“NO!” Vera menaruh mie goreng dan es tehnya kasar. Sedikit menyeruput minumannya kemudian memandang Almeera penuh kemenangan.
Almeera mendengus kesal. Diletakkannya mie goreng dan es teh di atas meja tak kalah kasar. Kesabarannya sedang diuji.
Tia geleng-geleng kepala. Kedua sahabatnya ini memang sedikit sinting. Untuk urusan duduk di sebelah kanannya saja mereka selalu cek cok. Dia sampai kehabisan akal untuk menghadapi kedua sahabatnya itu.
Kenapa di sebelah kanan? Sebab menurut mitos yang mereka dapatkan entah dari siapa, aura seseorang akan luntur jika kamu duduk di sebelah kanannya. Hm? Apa benar?
“PINDAH!” gertak Almeera. Kini ia berdiri setegak kapten upacara.
Vera tetap tak bergeming. Ia malah asyik memakan mie goreng dan sesekali menyomot cilok Tia yang tak habis. Tampaknya ia sengaja tak mau melihat wajah Almeera yang sudah memerah seperti udang rebus.
KAMU SEDANG MEMBACA
T I T I K
Romance"Dengarkan aku, Pradana." "Genggam hatimu erat-erat. Berikan kepada orang yang tepat." "Bukan aku. Sebab, kekecewaan telah menutup pintu hatiku." "Apa?" "Kamu akan menungguku?" "Jangan konyol. Waktumu terlalu berharga untuk menunggu batu menjadi pas...