4. Pertemuan

7 2 0
                                    

Perhatian!

Sebelum baca, alangkah baiknya jika mem-follow akun ini dulu. Hihihi. Gratis kok. Cuma pake kuota. Makasih

Selamat membaca.

Pradana menghentikan langkahnya mendadak. Baru beberapa meter ia berjalan keluar lift, seorang gadis berbadan mungil tiba-tiba menghadangnya. Kedua tangan gadis itu terlentang bebas. Disusul dengan senyum gigi pepsodent yang tersungging di bibirnya.

“Pradana ya?” tanya gadis itu memastikan. Kini, ia mengatur posisi tubuhnya setegak mungkin.

Pradana mengangguk. Merasa aneh dengan kedatangan makhluk tak diundang di depannya.

“Lo… siapa?” tanya Pradana polos. Sepertinya ia lupa kalau pernah bertemu gadis ini.

“Secepat itu lo lupain gue?” gadis itu tampak kecewa. Wajahnya kusut seperti minta disetrika.

Pradana semakin gemas. Dalam keadaan seperti ini, bisa-bisa dia telat masuk ruangan. Padahal pagi ini ada rapat penggarapan koran kampus.

“Kita pernah ketemu di kantin dua hari yang lalu. Makanan lo hancur berantakan gara-gara ulah gue sama temen gue. Setelah itu gue sama temen gue minta kenalan tapi lo cuekin. Dan sekarang lo harus tahu nama gue. Nama gue Almeera.”

Sekarang Pradana ingat seribu persen. Dia gadis tak tahu malu yang terang-terangan minta kenalan saat hatinya kecewa meratapi menu sarapan plus makan siangnya hancur berantakan.

“Sekarang gue udah tau nama lo. Pradana Setia Efeendy. Umur 23 tahun. Suka fotografi. Dan sekarang lo kerja di bagian humas.”

Pradana mengepalkan kedua telapak tangannya. Wajahnya tertunduk dan matanya terpejam. Sumpah! Kupingnya panas. Ini anak mungkin habis makan cabe setan sepuluh kilo. Ia tak mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Seketika itu juga, Pradana menyesali kedatangannya ke kantin kampus setelah wisuda dua hari lalu. Kenapa ia harus berurusan dengan gadis aneh ini?

“Nih,” gadis itu menyerahkan sebuah bolpoin gel yang diberi pita cantik warna pink. Ada note yang turut diikat dengan pita itu.

Pradana tampak heran. Ia membuka matanya kembali. Ia sedang tidak mimpi kan? Ini memang bukan pertama kalinya dia menerima bingkisan dari lawan jenis. Bahkan, sejak SMP, Pradana sudah sering menerima cokelat dan note yang menempel jadi satu di kolong mejanya. Sejak memasuki bangku kuliah pun, Pradana juga sering mendapat kejutan berupa pulsa gratis, bayar kos gratis, sampai makan di kantin gratis. Tapi entah ini terasa berbeda.

“Tenang. Bukan dari gue. Tapi dari temen gue,” jelas Almeera seolah mengerti isi hati Pradana.

“Temen lo yang sama sintingnya kayak lo itu?”

Almeera mendelik. Ya Tuhaaan. Pradana keceplosan. Mengapa ia harus mengatai Almeera dan Vera demikian? Setelah ini, ia harus siap melihat ekspresi Almeera yang sangat menyeramkan.

Almeera memelototkan matanya hingga sangat lebar. Hidungnya mendengus cepat dan bibirnya mengerucut mirip tikus. Kedua tangannya mengepal lurus ke bawah.

Tuh, kan. Bener. Wajah Almeera berubah seram. Ia tak terima jika ia dan teman sehidup sematinya itu dikatai ‘sinting’.

“Sinting?!” ulang Almeera penuh penekanan.

“He... he… Gue masuk dulu ya. Ada rapat.” Pradana meninggalkan Almeera. Gelagatnya canggung seolah tahu kalau dia sedang salah bicara.

“Hei. Bolpoinnya!” pekik Almeera setelah Pradana berjalan 3 langlah.

Pradana membalikkan tubuhnya dan menerima bolpoin itu.

“Oke. Makasih.”

Pradana berlalu dengan hati yang masih menyimpan beribu tanya. Dari mana gadis yang mengaku bernama Almeera itu tahu tentang identitasnya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

T I T I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang