Prolog

41 5 5
                                    

Seperti potongan film yang berjalan lambat, ia bisa melihat bagaimana aspal menghantam tubuhnya secara perlahan. Meninggalkan sakit yang menyengat tubuh. Rasanya tulang yang melindungi organ tubuhnya baru saja dipatahkan, menusuk sesuatu di dalam sana.

Titik-titik hujan mengguyur, membuat pakaian yang ia kenakan perlahan basah. Air hujan sore itu bercampur bersama darah yang mengalir perlahan, bergerak menuju tempat yang lebih rendah.

Beriringan dengan itu, ia bisa mendengar orang-orang di sekitarnya berteriak histeris, tepat ketika rasa sakit yang menghantam tubuh terasa semakin menjadi-jadi. Bibirnya terlalu kelu sekedar untuk meminta tolong.

Hari itu, di bawah guyuran hujan, ia teringat permintaannya tempo hari. Ia pernah meminta Tuhan untuk segera menjemputnya, membawa dirinya pergi dari dunia yang menyesakkan ini. Membawa ia yang dihantui sesal serta dosa ke tempat yang jauh, dimana hanya ada suka di dalamnya.

Ia ingat betul bagaimana dunia menaruhnya dalam posisi yang melelahkan bahkan dalam tidur sekalipun. Bagaimana dunia menempatkan dirinya dalam situasi dimana tak ada seorangpun yang berniat mendengarkan, mencoba memahami bagaimana ia menjalani hari atau sekedar bertanya, apakah dia baik-baik saja.

Namun, hari ini saat malaikat baru saja mengulurkan tangannya, perasaan takut justru menyambut. Ia benar-benar takut kalau hari ini adalah hari terakhirnya. Ia takut meninggalkan dunia dan orang-orang di dalamnya.

Bagaimana rasanya kematian itu? Apakah lebih menyakitkan lagi daripada ini? Benaknya bertanya-tanya.

Langit kelabu di atas sana, menampilkan sosok mama yang tengah tersenyum. Senyum paling hangat tetapi, juga menyakitkan. Senyum yang menyeretnya dalam kubangan rasa penyesalan serta dosa.

Kapan lagi ia akan melihat senyum itu? Apakah hanya sampai hari ini? Apakah hari ini kematian benar-benar akan menjemputnya? Memisahkan dirinya dari mama dan semua orang di hidupnya?

Apakah setelah ini mama akan hidup dengan baik?

Terlalu banyak pertanyaan tanpa satu orangpun yang dapat mendengarnya.

Wajah laki-laki itu kemudian menggantikan mama. Mengingatkan dirinya akan kilasan memori di masalalu. Bagaimana ia tersenyum, bagaimana ia tertawa atau bagaimana wajah sendunya semua berputar kembali di kepala.

Tuhan sepertinya sedang memberikan sisa waktu untuk membiarkan ia mengenang semua cerita di buku lamanya. Membiarkan ia tenggelam bersama kepingan masalalu sebelum kemudian mengizinkan malaikat untuk menarik semuanya.

Tidak berselangan lama, suara teriakan di sekitarnya perlahan mengecil, seakan-akan seseorang baru saja menurunkan volumenya. Pun, pandangan di sekitar mulai mengabur. Ia berusaha menggapai sesuatu, mencoba menggenggam tangan siapapun yang dapat membawanya pergi dari sini namun, semakin ia mencoba semakin berat pula rasanya.

Seluruh tubuhnya terasa sakit. Bahkan sekedar untuk menarik napas. Selain itu, sepasang kelopak matanya terasa berat. Ia mengantuk. Lelah.

Sebelum matanya menutup, sosok itu kembali muncul di hadapannya. Bayangannya buram namun terasa cukup nyata.

Apa ini juga halusinasi?

"Je." Suaranya terdengar di telinga, tipis bagai udara sore itu.

Sebelum sempat memastikan, gelap sudah lebih dulu memeluk. Membawa dirinya menjauhi realita.

Bad SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang