2 - Lagu Masalalu

12 2 0
                                    

Untuk Merah yang mencintai aroma khas perpustakan, terimakasih karena telah lahir dan tumbuh dengan baik.

— dari seorang teman yang membenci debu perpustakaan

***

JARUM jam sudah menunjukan pukul empat sore saat Jevana berdiri dengan bosan di halte dekat sekolah. Sepasang matanya tak henti-henti melirik arloji di tangan dan jalan raya yang mulai padat kendaraan. Tentu saja, sekarang adalah jam pulang kantor, pemilik kendaraan itu pasti sedang berbondong-bondong pulang ke rumah mereka masing-masing.

Wajah perempuan ini perlahan ditekuk, tampak jelas bahwa ia sedang kesal saat ini. Mama yang biasanya menjemput Jevana belum datang juga, sudah tigapuluh menit ia menunggu di sini. Berulang kali ia mencoba menghubungi Sang Ibu namun, yang menjawab justru suara operator, mengatakan bahwa nomor yang Jevana tuju sedang tidak aktif.

Sedangkan, Pak Rivan—tutor Matematikanya sudah mengirim sepotong pesan singkat. Di sana tertulis, bahwa bimbingan belajar akan segera dimulai. Laki-laki itu juga mempertanyakan keberadaan Jevana. Pasalnya semua orang tahu, seorang Jevana tidak pernah melewatkan jam belajarnya secara tiba-tiba. Selalu ada alasan dibalik ketidakhadirannya. Kecuali, hari ini.

To : Pak Rivan

Saya masih di jalan, pak. Bimbelnya boleh dimulai duluan tanpa saya.

Sent.

Mengirim balasan singkat, Jevana lantas memasukan kembali gawainya. Menatap sepasang sepatu hitam yang ia kenakan kemudian menatap jalanan yang masih saja ramai, mencoba mencari mobil Mama diantara padatnya kendaraan.

"Belum dijemput, Je? Mau bareng?" Miko datang dari arah belakang. Laki-laki itu membuka kaca helmnya setelah sebelumnya menepi. Mereka berdua les di tempat yang sama.

Jevana melirik jok belakang motor Miko yang kosong. Mempertimbangkan tawaran temannya itu. "Emangnya lo bawa helm lagi?"

"Enggak. Lo mau gue pinjemin helm ke Wira? Dia agak ketombean sih tapi gue yakin helmnya cukup aman buat melindungi kepala lo dari benturan."

Rasanya Jevana ingin memukul kepala Miko dengan buku paket Matematika di tangannya.

"Mending gue jalan kaki daripada harus pakai helm punya Wira."

Miko terbahak di balik helm birunya. "Parah, si Wira dinistain mulu. Lagian lo lagi buru-buru 'kan? Bentar lagi bimbelnya mulai, Je. Gue kasih solusi deh, sekarang lo lari ke kantin, minta kantung plastik buat menutupi rambut lo supaya nggak bersentuhan langsung sama helm punya Wira. Gimana?"

Jevana menyipitkan matanya. Membayangkan ide absurd Miko.

"Enggak mau, makasih banyak."

"Yaudah kalau gitu. Gue duluan ya, Je." Miko kembali menurunkan kaca helmnya. Laki-laki ini melambaykan tangan singkat.

Tak lama motor biru Miko kembali melaju, perlahan meninggalkan Jevana sebelum kemudian hilang ditelan jarak.

Tak punya pilihan, Jevana kembali menunggu.

Lima menit. Tujuh menit. Sepuluh menit.

Baiklah, Jevana mulai jengah menunggu. Waktu lesnya sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu dan ia tidak yakin Mama akan segera datang. Jika terus begini ia akan ketinggalan materi baru.

Tidak. Tidak boleh begitu. Jevana menggeleng. Membayangkan dirinya yang harus duduk lebih lama sembari memperhatikan penjelasan Pak Rivan mengenai materi yang seharusnya sudah ia pahami terdengar merepotkan.

Dengan nekad, Jevana menghentikan angkot dan menaikinya. Duduk di salah satu bangku dengan keadaan berdempetan.

Jarak antara sekolah dan tempat lesnya sejauh enam kilometer, dengan kondisi jalan yang padat seperti sekarang, Jevana pikir ia akan tiba dalam duapuluh menit. Ah, berapa soal yang dapat ia kerjakan dalam waktu sebanyak itu?

Bad SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang