Taehyung tidak pernah benar-benar menyukai seorang pengasuh anak—babysitter. Maka dari itu dia jarang bekerja lembur alih-alih menjemput Sanhee paling lambat pukul lima sore sebelum keduanya pulang ke apartemen bersama.
Saat ini sudah pukul 04:45 PM dan Taehyung tengah dalam mode panik. Berada dalam kondisi dikejar deadline dengan kewajiban si taruna muda yang harus mengerjakan pekerjaan—sialan—nya, kini dia dituntut harus menyelesaikannya dalam waktu dua hari. Jika tidak bekerja sampai larut alhasil pekerjaannya tidak akan selesai sampai batas waktu yang telah diberikan.
Manakala Kim Taehyung bekerja lembur, maka tidak ada yang mengantar-jemput Sanhee dari pusat penitipan anak dan memberinya makan malam lalu membawanya ke tempat tidur. Oh, astaga. Tidak.
Si bungsu Kim melangkah tergesa dari sudut kanan ruangannya hingga sudut berlawanan—tetap mengulangi hal yang sama sambil menggiti jari-jari secara tak sadar. Dia berpikir keras dengan kebiasaan buruknya yang satu ini.
Beberapa opsi yang dia punya hanya tiga, yaitu:
a.) Menghubungi kedua orangtuanya untuk mengagihkan bantuan. Tapi memang sial, setidaknya jika mereka tinggal di negara yang sama. Perjalanan bisnis kedua orangtua-nya memang tak bisa diterka-terka.
b.) Menghubungi salah satu temannya. Jimin? Mustahil. Dia yakin bahwa temannya memang baik, tapi Taehyung juga ingat bahwa Park Jimin tengah menyambung hidup untuk mengabdi di tempat penuh orang-orang berkemauan keras dan pengejar mimpi, yakni sebuah agensi hiburan. Perlu diingat pula, jika ia tidak mempunyai teman dekat lain karena pekerjaannya, dia belum sempat memperluas lingkaran teman-temannya.
c.) Jungkook.
Jemari tangannya bergerak ragu di atas layar ponsel. Sekarang ruangan kerjanya sedang lengang sebab pegawai lain tengah beristirahat sejenak sebelum kembali bertempur dengan tuntutan tugasnya. Sedikit, Taehyung melonggarkan ikatan dasinya yang terasa mencekik.
Tidak punya pilihan lain, akhirnya dia memustukan pilihannya. Dilanda cemas, satu kakinya tak berhenti untuk mengetuk-ngetuk lantai di bawahnya sembari mendengarkan nada sambung di ponselnya.
'Angkat, ayo angkat—'
Tersambung.
"Halo? Taehyung, itu kau?"
Taehyung hampir mengembuskan napas lega spontan, namun ia urungkan sejenak untuk membalas panggilan tersebut. "H-hai, Jungkook." Belah bibirnya terbuka, tenggorokannya juga mendadak kering—sebab dia belum melihat ataupun berbicara dengan Jungkook sejak makan malam bersama satu minggu yang lalu. Yah, memangnya apa yang dia harapkan? Selalu mengunjungi apartemen miliknya bukanlah sebuah kewajiban toh pemuda yang lebih muda darinya itu memiliki kehidupannya sendiri.
"Aku harap aku tidak mengganggumu?" Ck, mengapa gaya bicaranya jadi kaku begini, Kim Taehyung?
"Oh? Tidak kok," terdengar suara kekehan dari sambungan telepon. "Baru saja ingin pulang. Hyung ingin bertemu kapan-kapan atau apa?"
Taehyung menghela napas. "Aku tahu ini random, tetapi aku butuh bantuan. Aku sangat membutuhkan seseorang untuk menjemput Sanhee."
Jeda menemani mereka hingga beberapa sekon berikutnya. Taehyung berdebar menunggu respon, sekarang ia harus apa?
Lantas sebuah helaan napas terdengar sebelum berimbuh, "Lalu kenapa kau tidak menguhubungiku lebih cepat? Mungkin aku bisa menemaninya atau sedikit menghiburnya nanti. Hyung masih di tempat kerja?"
"Ya. Sampai agak malam. Kau tidak apa-apa dengan itu? Kalau merepotkan tidak perlu—"
"Taehyung." Usai kekehan kecil kemudian Jungkook melanjutkan, "Kau tahu aku menyukai anak itu, dia menggemaskan. Kirimkan aku alamat tempatnya dan keperluan lainnya. Apa dia punya kunci kamarnya?"
"Iya, dia punya." Taehyung ingat pernah menyimpan kunci darurat di ransel milik Sanhee. "Ada di tas-nya, kompartemen bagian bawah."
"Okay, kalau begitu aku akan pergi." Gumam Jungkook melalui telepon, "Tenanglah, aku bukan seorang pembunuh berantai, hyung. Haruskah aku juga membuatkan makan malam?"
Obrolan mereka terus berlanjut untuk sementara waktu. Taehyung memaparkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, lalu yang harus dan tidak perlu, hingga sesekali Jungkook hanya membalas, "Tenang hyung, tenang. Aku tidak akan membunuhnya." Yah, berkat sifat protektifnya itu Jungkook bersabar dengan penjelasan panjang tersebut.
Saat penjelasannya—finally—berakhir, Taehyung menyeka bulir-bulir keringat yang ada di keningnya. "Kau ingat semua yang ku katakan?"
"Aku mencatat semuanya, sayang." Meski dia tahu Jungkook hanya sekadar menggodanya, tetapi tetap saja jantungnya tak bisa berbohong menanggapi kata cabul itu.
Kecemasan berlebih membuatnya tak bisa memilih opsi yang lain. Selama ini hanya orang tua-nya dan Jimin saja yang pernah—dan ia percaya—untuk menjaga Sanhee. Lalu sekarang, dia menyerahkan si jagoan nakalnya pada orang asing yang bahkan belum lama bertemu satu sama lain? Sulit dipercaya. Meski sudah beranjak dua bulan, namun kunjungan Jungkook hanya sebatas pada hari Jumat dan diakhiri pukul tujuh malam saja, dulu. Bulan berikutnya nampaknya si taruna yang gemar menggodanya itu tengah sibuk, alhasil pertemuan mereka menjadi renggang.
Namun karena waktu yang sempit datang seperti situasi saat ini maka tindakan drastis pun perlu dilakukan, jadi Taehyung mengakhiri panggilannya sembari mengucapakan terima kasih sebelum kembali pada pekerjaannya yang menumpuk.
'Semoga Sanhee—tidak, semoga mereka berdua baik-baik saja.'
Memang se-sayang itulah Kim Taehyung pada mereka yang sudah berkesempatan untuk mengenalnya.
✧ ✧ ; end for third piece.
AKHIRNYA MOTIVASI MENULISKU BISA TERCURAHKAN JUGA HUHU. Untuk fic yang lain juga sedang masa pengetikan, ehe. Enjoy!!♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Erstwhile. ✧
FanficKetika Jungkook hendak pergi, ia merasakan sebuah tarikan kecil pada bajunya. Lantas ia berbalik dan menoleh, melihat sepasang mata antusias yang menunggu respons. "Bisakah kau menjadi Appa-ku juga?" Tanya si kecil. ─────────────────── 𝗕𝗧𝗦・KookV...