Prolog

3K 180 9
                                    


Happy reading ^_^


Saint Suppapong pernah mengharapkan kisah cinta bagai dongeng yang berakhir bahagia selamanya. Namun, hidupnya adalah hidup kedua orang tuanya juga. Semua telah diatur sedemikian rupa oleh mereka, dan Saint hanya tinggal menjalani apapun itu meski Saint tak suka. Dia telah memiliki tanggung jawabnya yang terencana oleh orang tuanya semenjak kecil.

Semenjak kecil. Saint harus begini, tidak boleh itu, pergi ke sana, jangan berteman dengan anak itu, atau anak ini adalah anak dari rekan bisnis yang berpengaruh jadi dekati dia. Saint bertemu bermacam anak dari kalangan atas, konglomerat, pebisnis sukses, dan tuan muda sama seperti dirinya. Mengobrol hal-hal serius, yang tidak lazim bagi anak seusia mereka. Tentang kasta, kekayaan orang tua, dan pekerjaan mendatang yang telah mereka siapkan. Gila kan? Saint juga begitu.

Lalu hanya soal menunggu waktu ketika kehendak hatinya akan diatur juga oleh mereka. Dan Saint memilih untuk mati rasa, membiarkan perasaan nya pergi bersama cinta pertamanya yang telah tiada. Melanjutkan hidup, memenuhi rencana orang tuanya. Menerima perjodohan dengan putra Keluarga Phiravich. Saint akan hidup seperti boneka.

Hatinya mungkin telah ikut pergi bersama cinta pertamanya, tapi kenangan kenangan tentangnya tetap melekat begitu erat. Seolah sengaja membuat Saint terjaga setiap malam untuk melihat sebuah tempat yang telah jauh di suatu waktu.

. . .

"Sedang apa kau di sana?"

Saint berusia 14 tahun waktu itu. Baru saja merampungkan kursus piano dan gurunya pun telah pamit pulang. Namun, seseorang yang mengintipnya, membuatnya penasaran.

Saint yang melihat gerak gerik mencurigakan di pohon apel tidak jauh dari kamarnya turun lalu keluar. Menatap ke atas, pada seorang anak yang berani-beraninya bertengger pada pohon Apel pekarangan rumahnya. Anak itu turun dengan sangat gesit, membuat Saint yang sangat asing dengan perilaku barusan terbengong takjub.

"Ini untukmu!" Tangan bocah yang sedikit lebih pendek darinya dan berkulit agak gelap itu terjulur pada Saint, memberikan apel kemerahan yang baru saja dipetik olehnya.

"Terima kasih," Saint berkata dengan nada datar menyembunyikan kekaguman yang tadi sempat muncul terhadap keliaran di hadapannya.

"Tidak perlu, itu pohon apel keluarga mu kan?" Bocah itu tersenyum lebar, menampilkan senyuman yang begitu menyenangkan. Matanya bahkan menyipit seperti bulan sabit.

"Kau benar. Jadi kau di atas untuk mencuri ini?" Saint yang awalnya salah tingkah menemukan tuduhan bagus untuk menyudutkan nya.

"Bukan untuk apel ini, tapi untuk melihat burung yang berada di sebuah sangkar emas yang aku harap akan keluar dan terbang ke arah ku," jawabnya dengan tatapan yang lekat ke wajah Saint.

Saint menjadi lebih salah tingkah lagi, dia mendadak lupa segala jenis kata yang diajarkan oleh guru etikanya sebagai bahan untuk menghadapi orang baru. Tapi Saint penasaran, apa yang mata indah di hadapannya lihat dari wajah Saint. Kenapa mendadak mata itu begitu berbinar dan cemerlang, seolah menariknya ke sebuah dunia baru yang lebih murni, lebih polos dari tatapan milik teman temannya yang penuh ambisi.

"Matamu indah." Saint baru sadar ketika kalimat itu lolos begitu saja dari mulutnya, salah tingkah lagi.

"Punyamu lebih indah." Anak itu membalas sambil tersenyum lebih manis dari sebelumnya.

Saint menggigit apel di tangannya, sebab dia tidak tahu mau menjawab apa.

"Aku Ae Intouch, tetangga sebelah rumah mu."

"Aku Saint, Saint Suppapong."

"Aku tahu, dan kau ternyata jauh lebih imut dan menggemaskan saat dilihat dari dekat." Anak bernama Ae Intouch itu tersenyum lagi.

THE GREATEST LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang