Tanapon's Tale (Special Chapter)

942 81 38
                                    

Happy reading ^_^

Burung-burung berterbangan, berputar-putar di atas lautan. Mentari yang hendak sembunyi, merendahkan dirinya ditemani goresan jingga yang indah dan hangat. Deburan ombak yang saling kejar mengejar terus menyapu bibir pantai, terus menerus sampai pada dua pasang kaki telanjang yang singgah di atas pasir kehitaman.

"Sudah sore, bagaimana kalau kita masuk?"  sepasang kaki yang baru saja sejajar dengan sepasang lainnya menolak datangnya ombak dengan tendangan ringan menggunakan kaki sebelah kanan. Wajahnya yang sudah dipenuhi guratan, sepasang mata hangat yang menyipit ketika senyuman terangkat, tertuju pada anak muda di sebelahnya yang tidak lebih dari separuh usianya.

"Sebentar lagi, Ayah." Anak muda berusia 15 tahun itu tersenyum, menunjukkan kemiripannya dengan lelaki lebih tua di sebelahnya.

"Kau sangat suka laut huh?"

" Ya, karena aku seperti melihat Ibu saat melihat laut." Si lelaki tua terenyuh ketika putranya menjawab. Pandangannya yang kini tertuju pada burung-burung, sesungguhnya menerawang entah ke mana.

"Kau merindukannya?"

"Selalu. Semenjak ibu pergi aku selalu merindukannya."

Sang Ayah merasakan bukan hanya kerinduan, melainkan kesedihan mendalam yang terdapat pada perkataan itu. Dipandangi harta paling berharga miliknya yang kini sudah muram. Wajahnya yang pucat tertimpa oleh cahaya senja sehingga sedikit kekuningan.

"Pin, Ibu sudah bahagia."

"Aku juga ingin bahagia seperti Ibu."

"Ayah akan membahagiakan mu, jadi kau jangan khawatir. Kau akan segera sembuh." Dia mengusap pundak putranya dengan sayang, menunjukan senyum optimis.

Namun, anak itu menggelengkan kepala dan secara perlahan memalingkan wajah padanya. Sorotnya seolah telah menyerah pada setiap janji sang lelaki tua.

"Aku sangat lelah. Jadi, sudah ku putuskan kalau aku ingin ayah menabur abuku di laut, seperti kita menabur abu ibu 3 tahun lalu. Aku ingin bersamanya." Dia lalu berkata penuh harap.

"Ayah yang putuskan, bukan kau. Dan keputusanku adalah tidak ada menabur apapun." Sang Ayah tidak bermaksud terdengar menggertak, tetapi dia secara spontan ingin menolak ucapan sang putra yang putus asa dan santai diwaktu bersamaan.

"Bukan ayah, tapi Tuhan yang putuskan." putranya menyahut begitu saja.

"Dan kau bukan Tuhan, Pin! Berhenti omong kosong dan kembali ke mansion." Pria yang sudah amat sedih itu berusaha bersuara keras sebab tak mau mendengar apapun lagi, memutuskan berbalik lalu berjalan pelan  memberi isyarat agar anaknya mengikuti.

"Yah, tapi aku merasakannya! Merasakan bahwa keputusan Tuhan terhadapku akan segera datang." Suara yang mengikutinya dari belakang itu terdengar rendah, pilu namun penuh keyakinan.

Dan meskipun sang Ayah pura-pura tidak dengar, sepanjang berjalan menuju mansion, air matanya tak berhenti mengalir.

Tak berhenti mengalir sampai pandangan matanya berkabut. Tak berhenti mengalir sampai dadanya begitu sesak dan mencengkeram dirinya sendiri.

Dan air mata itu mengalir lagi hari ini. Dia tidak lagi berjalan menuju mansion diikuti putranya, dia tak lagi mendengar omong kosong hari itu lagi setelahnya. Dan air mata itu membuat buram pandangannya lagi juga, saat ini saat dia menatap foto yang menampilkan dirinya, istrinya dan sang putra yang tersenyum bahagia.

Terkadang tidak ada yang tahu bagaimana waktu akan berlalu. Foto itu hanya salah satu momen beberapa detik dari ribuan detik waktu yang sudah dilalui mereka, namun membeku sampai kapanpun. Membeku dari waktu Diana, Perth dan dirinya masih hidup sampai hanya tersisa dirinya sekarang yang memandang kebekuan itu seorang diri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE GREATEST LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang