Chapter 3 : Adh
****
"Aku tidak tau
apa yang akan aku lukis nanti,
aku hanya melukiskan
apa yang kurasakan saat ini."****
Aku menatap lukisan setengah jadi di hadapanku.
Ah, ini setengahnya saja belum jadi,
Aku bukan seorang yang begitu mencintai seni. Aku hanya mengekspresikan emosi yang ada dalam diriku. Senang, marah, sedih, bingung, dan beragam emosi lainnya.
Aku bukan tipikal remaja laki-laki yang akan melampiaskan emosi dengan hal hal negatif seperti yang sering kalian baca di novel remaja belakangan ini.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku akan mengekspresikan emosi lewat lukisan. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa pelampiasanku itu merupakan sebuah bakat. Aku hanya mengangkat bahu tidak peduli. Biasanya.
Setelah beberapa saat tenggelam dalam lukisan yang sedang kukerjakan, Handphone yang kuletakkan di meja bergetar.
Kuletakkan kuas dan palette yang sedari tadi kupegang. Setelah membersihkan tanganku secukupnya, (karena aku terlalu malas untuk membuatnya sangat bersih, karena jelas tanganku akan kotor lagi setelah ini).
Tanpa melihat siapa penelponnya, aku langsung mendekatkan handphone ke telingaku setelah menekan tombol hijau.
"Halo? "
"Aaric? "
Aku langsung membeku begitu saja. Tanpa banyak kata, sambungan telepon itu langsung kuputuskan.
Darimana dia dapat nomorku?
Sambil menahan diri agar tidak mengumpat, aku menghela nafasku perlahan. Pikiranku agak kacau sekarang.
Well, I guess I must buy new number phone for now.
Aku langsung berjalan keluar dari ruang lukis, meraih jaket dan juga dompet. Setelah memakai sepatu, aku langsung berjalan keluar rumah. Tidak ku pedulikan lagi tanganku yang masih terkena cat accrylic setelah melukis tadi.
Yang ada di pikiranku hanya satu, membeli kartu baru, agar dia tidak bisa menemukanku.
****
"Makasih ya mbak,"
Setelah mbak-mbak konter pulsa itu menganggukkan kepalanya, aku langsung melangkah pergi.
Aku tidak langsung menuju ke rumah, tentu saja, lukisanku bisa bertambah banyak nanti. Sekarang yang kubutuhkan hanya ketenangan.
Udara di taman selalu menyegarkan pernafasan. Aku menuju salah satu bangku taman untuk duduk. Beberapa orang mengamatiku, tapi tak pernah kupedulikan.