Life

9 2 0
                                    

Ting!
Mendengar bunyi pemberitahuan itu membuat sang pemilik telepon itu terperangah.
Dilihatnya layar telepon genggam itu. Dengan cepat, ia mengetikkan balasan kepada seseorang yang mengiriminya pesan tadi.
Tak lama kemudian, balasan lain sampai. Dengan cepat ia membaca pesan itu. "Ada apa lagi ini" gumamnya.
Jarinya dengan lihai menekan keypad yang ada dilayar telepon tersebut. Hatinya gundah. Tidak sabar ia menunggu balasan dari seberang.
Ting!
Balasan yang ditunggu pun sampai. Dia membacanya dengan seksama. Berusaha untuk tidak melewatkan detail sekecil apapun.
Dia mengerjap. Dadanya mendadak sesak. Pandangannya mengabur.
"Jangan nangis," gumamnya. Pertahannya runtuh, sudut matanya meneteskan cairan bening. Pelupuk matanya tak mampu lagi menampung.
Dibaca kembali isi pesan tadi. Berharap bahwa dia salah mengerti. "Kenapa?" tanyanya pada diri sendiri.
Cairan bening itu tak mau berhenti membasahi pipinya. Dadanya kian bertambah sesak. Pikirannya kacau.
Dia mengusap kasar sudut matanya. Perlahan, dia mencoba untuk mengontrol emosinya.
Perlahan namun pasti, ia mengetikkan balasan lain. Berharap semua ini hanya lelucon belaka. Berharap bahwa ini tidak benar.

Harapannya sirna. Balasan lain sudah sampai.

Air matanya tak mampu ia tahan lagi. Dadanya bertambah sesak.

Dia menyerah.

Dia menangis. Sejadi-jadinya.

10 menit sudah berlalu sejak balasan itu sampai. Namun yang ia lakukan hanyalah memandangi layar telepon genggamnya itu. Tak berniat membalasnya.
Pikirannya rancu. Ia tak mampu berfikir dengan benar saat ini. Berusaha sekuat mungkin untuk mengerti mengapa ini terjadi padanya. Berusaha untuk memahami sekali lagi. Meskipun pipinya sedari tadi sudah basah oleh air mata dan dadanya sesak ibarat ditusuk beribu-ribu anak panah. Dia tetap berusaha untuk mengerti.

Tak ada pilihan lain, dia harus membalas pesan ini. Berusaha untuk meyakinkan orang diseberang agar tidak mengambil keputusan ini.
Sekali lagi, ia mengetikkan balasan. Kali ini diiringi tangisan dan racauan kecil dari bibirnya.
Berusaha sekuat tenaga untuk membangun kembali benteng pertahanannya.

Entah apa yang sedang terjadi disana, ia tak paham. Dia hanya bisa berdoa, agar tak terjadi apa-apa disana. Berharap agar semua baik-baik saja.
Meskipun ia tahu, dalam hidupnya, tak akan ada yang baik-baik saja.
Selalu akan ada duri disetiap langkahnya.
Hanya satu hal yang dia pegang teguh hingga saat ini. Bahwa, "Tuhan tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan umatnya" dan itulah yang membuatnya bertahan hingga saat ini.

Dia hidup, tapi hatinya telah mati. Mati oleh rasa sakit.

Ini bukan tentang mencintai dan dicintai seseorang. Ini tentang bagaimana cara seseorang bertahan hidup dengan memeluk ikhlas semua rasa sakit yang ia rasakan. Bertahan hidup, meskipun hatinya telah mati ditelan rasa sakit.

Hold OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang