Singularity

4 2 0
                                    

Semuanya berlalu seperti biasanya. Tak ada yang istimewa.

Yuna menjalani hari-harinya seperti biasa. Ditemani dua temannya yang begitu pengertian padanya. Lisa dan Irena.

Mereka bertiga bertemu saat menjadi siswa baru di SMP. Mungkin karena banyak hal yang mereka sukai, akhirnya mereka menjadi sahabat hingga sekarang.

Lisa dan Irena selalu mengerti akan keadaan Yuna. Mereka paham betul, jika sesuatu sedang terjadi pada Yuna. Meskipun Yuna tak pernah sedikit pun bercerita pada mereka tentang masalahnya. Tapi Lisa dan Irena akan mengerti. Mereka tak bisa dibohongi oleh topeng Yuna.

Seperti hari ini. Ada sesuatu pada Yuna. Tentu mereka tahu, karena sejak tadi Yuna melamun. Dia bahkan tidak bisa fokus mendengarkan cerita Irena.

Mereka saat ini sedang duduk di teras sebuah kafe. Memesan beberapa minuman dan makanan ringan untuk menemani obrolan mereka.

Irena dan Lisa yang menyadari keganjilan dari Yuna segera bertukar pandang. "Ada sesuatu," tatapan mereka mengatakan demikian.

"Na, kamu baik-baik saja?" Akhirnya Irena bertanya. "Eh..ah," yang ditanya pun terperangah kaget. "Aku? Aku baik-baik saja." Ujarnya.

"Aku tahu pasti ada sesuatu Na. Kamu tidak bisa membohongi kita. Topeng mu tidak berfungsi saat ini." Ucapan Lisa pun membuat Yuna terkejut. Tidak ada maksud apapun didalamnya, tapi itu sukses membuat Yuna bungkam.

"Maaf, tapi aku tidak bermaksud. Aku hanya ingin kamu terbuka Na. Berceritalah pada kita. Meski kita tidak bisa membantu apapun, tapi setidaknya itu akan membuatmu lega" lanjut Lisa. "Ah, tidak apa-apa Lis, aku tahu. Aku hanya tidak mau membebani kalian dengan masalahku. Kalian pasti punya masalah sendiri kan? Aku hanya tidak mau merepotkan." Balas Yuna.

Selalu seperti itu. Jawaban yang sama. Alasan yang sama. Yuna selalu memendam masalahnya sendiri. Entah bagaimana, dia akan selalu menolak bercerita.

"Kita ini sahabat mu Na. Apa gunanya punya sahabat kalau kamu tidak bisa terbuka pada kita. Ceritamu sama sekali tidak akan membebani kita. Alasanmu itu sungguh klise kau tahu" sahut Irena. Irena gemas sekali pada Yuna, jika saja Yuna bukan sahabatnya, mungkin sudah ia tendang kepala batunya itu.

"Tap..tapi,"
"Ceritalah" ucapan Yuna segera dipotong oleh kalimat menuntut dari Lisa. "Mungkin terdengar seperti memaksa, tapi aku tidak bisa membiarkanmu merasakannya sendiri Na" sambung Lisa.

Yuna menarik nafas panjang, "baiklah" balasnya.
"Ya, memang ada sesuatu. Aku sebenarnya sudah tak ingin memikirkan tentang hal ini, tapi pikiranku tak mau bekerja sama," hening sesaat.
"Kalian tahu, aku baru sadar. Dalam hidupku, harusnya aku selalu tahu, bahwa tak akan ada yang baik-baik saja. Tapi aku selalu berpikir demikian. Bahwa semuanya baik-baik saja." Lanjutnya.

Irena dan Lisa mendengarkan setiap kata yang diucapkan Yuna dengan seksama. Takut-takut ada yang tertinggal.

Kemudian Yuna melanjutkan, "aku tak tahu pasti apa yang sedang terjadi di sana. Meskipun aku tahu ceritanya aku tak pernah tahu apa yang benar-benar sedang terjadi. Aku hanya ingin semuanya tetap baik-baik saja ketika aku tak disana. Tapi nyatanya masalah bermunculan ketika aku sudah tak disana. Kalian pasti mengerti betul apa yang aku maksud." Yuna berhenti sejenak menghela nafasnya kasar.

"Hal ini terjadi. Sudah sering sekali. Dengan penyebab yang berbeda-beda. Yang aku lakukan saat itu terjadi hanyalah, mendengar isak tangis ibuku di telepon. Mendengar perdebatan diseberang sana." Yuna menatap lamat-lamat kedua temannya. Kemudian melanjutkan,
"Aku tak akan pernah bisa jika hal itu terjadi. Kalian tahu pasti apa yang aku maksud. Aku tak pergi kesini untuk sukses tanpa keluarga yang utuh. Apa gunanya aku berhasil nanti jika keluargaku tak berbentuk?" Pandangan Yuna mengabur. Tapi dia berusaha meneguhkan hatinya untuk tidak meneteskan air matanya dihadapan sahabat-sahabatnya.

"Aku sebenarnya sudah tak ingin memikirkan hal ini, sebab ini sudah terjadi begitu lama. Tapi entah mengapa otakku selalu menolaknya. Tetap bersikeras memikirkan hal ini." Dia berhenti, menyesap minumannya. Merasakan aliran cairan itu melewati kerongkongannya.

Kemudian melanjutkan, "aku minta maaf pada kalian, karena tak pernah terbuka seperti ini. Aku hanya tak ingin membebani kalian dengan masalahku. Dan aku mengucapkan banyak terimakasih karena sudah mau mendengarkan ini. Aku tahu, aku kacau," ucapnya seraya menatap intens kedua sahabatnya itu.

Irena dan Lisa terdiam. Mencerna baik-baik apa yang telah mereka dengarkan. Berusaha mengerti apa yang dikatakan Yuna. Hingga mereka tersadar, air mata mereka telah mengalir leluasa dipipi nereka. Yuna yang sadar akan hal itu langsung cepat-cepat mengelap secara bergantian air mata dipipi kedua sahabatnya itu. "Bodoh! Mengapa kalian menangis. Dasar bocah!" Canda Yuna. Ketiganya terkekeh menyadari kebodohan mereka.

"Kita tak pernah tahu Na, apa yang sebenarnya terjadi padamu karena kamu tak pernah bilang. Masalahmu bukanlah hal yang sesimple itu. Kamu butuh orang lain untuk medengarnya." Ucap Irena. Kemudian Lisa menangkup tangan Yuna, menyalurkan energinya agar Yuna tetap kuat.

"Kamu tahu Na, aku selalu menunggu saat-saat ini. Saat pada akhirnya kamu akan bercerita." Sambung Lisa. Kemudian mereka bertatap haru. Seolah berbicara dalam diam. Mereka bisa mengerti apa yang dirasakan Yuna saat ini, mata Yuna memancarkan hal itu.

Matanya, jika dilihat tersirat begitu banyak rasa sakit terpancar. Tatapannya yang sendu, mengisyaratkan bahwa ia tidak baik-baik saja.

Tatapan yang saat ini tak pernah ia perlihatkan pada siapapun. Ia tidak mengatakan apapun tentang perasaannya, tapi matanya mengatakan demikian.

Dia terluka. Begitu banyak lukanya. Hingga ia tak bisa merasakannya lagi.

Mereka hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Tersadar ketika seorang pramusaji menepuk pundak Irena. "Maaf, apakah ada yang mau dipesan atau dibereskan?" Ucapnya. Irena tersentak, kemudian cepat-cepat mengelap sisa-sisa air mata di sudut matanya. "Ah, tidak perlu. Sebentar lagi kita akan pergi. Terimakasih." Balasnya seraya tersenyum samar. "Baiklah," kemudian pramusaji itu pergi meninggalkan meja ketiga sahabat itu.

"Sebaiknya kita sudahi hari ini. Mari pulang" ajak Irena kemudian. Mereka merapikan barang-barang mereka, kemudian pergi meninggalkan meja tersebut.

Di pertengahan jalan, mereka harus berpisah arah. Karena ruman Irena,Lisa dan Yuna berbeda arah. "Baiklah, sampai jumpa. Terimakasih untuk hari ini" ujar Yuna, kemudian ia mengambil arah pulang. "Sampai jumpa" balas keduanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hold OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang