Part 1

55.3K 1.6K 61
                                    

Sybill

Lantunan shalawat Nabi mengalun dengan begitu merdunya di tiap-tiap sudut penjuru Althofun Nada. Sebuah pesantren yang mungkin tidak asing di telinga beberapa orang khususnya bagi mereka, santri-santri alumni dari berbagai pesantren di Jawa Timur. Memang bukan pesantren megah dengan arsitektur masa kini, atau bahkan kurikulum bilingual seperti trend yang marak diterapkan di berbagai Lembaga Pendidikan belakangan. Althofun Nada adalah pesantren induk yang sudah berdiri cukup tua dan masih bertahan bahkan sangat mampu untuk bersaing dengan pesantren modern pada umumnya. Meski begitu, semua tetap berusaha dipertahankan seperti sedia kala, saat pertama kali pesantren mulai didirikan. Terutama dalam hal tata cara penyampaian materi hingga bab-bab yang dikaji dalam keseharian. Bukan anti perubahan, melainkan mempertahankan ajaran para ulama dan Salafus Sholih terdahulu yang telah berjuang dan mengabdikan hidupnya untuk memperjuangkan ajaran Islam hingga bisa Berjaya sampai saat ini.

Meski sudah beberapa kali menginjakkan kaki di sini, tapi aku masih saja takjub melihat pesantren sebesar ini masih bisa berdiri kokoh dengan tampilan khas pesantren jaman dulu. Bahkan arsitektur bangunannya sendiri terlihat sangat kontras dengan pesantren-pesantren masa kini. Dengan tidak mengesampingkn unsur kenyamanan, pesantren ini sungguh terlihat luar biasa. Di luar fungsi utamanya sebagai sebuah wadah dan tempat menimba ilmu bagi para santri, namun tempat ini juga bisa disebut sebagai situs peninggalan Islam kuno. Hampir delapan puluh persen bangunan di sini terbuat dari material kayu-kayuan dengan ukiran khas yang tak ku fahami maknanya. Namun tetap saja terlihat sangat indah. Dengan banyak ventilasi yang membuat sirkulasi udara tetap terjaga, suhu dan di ruangan sebesar ini pun masih terasa cukup sejuk meski tanpa bantuan AC.

Saat ini, aku sedang menemani Umi untuk turut hadir dalam peringatan Haul Almukarrom Almarhum KH. Ashif Mumtaz yang ke 31. Hamir seluruh pengasuh pesantren-pesantren se jawa Timur turut hadir dalam acara ini. Beberapa bahkan datang dengan bermobil-mobil barang bawaan, seperti bahan pangan pangan untuk para santri, nasi kotak untuk tambahan konsumsi acara, berbagai minuman kemasan, air mineral, bahkan ada yang membawa beberapa barang keperluan pesantren, seperti beberapa gulungan karpet, bahkan ada juga yang membawa beberapa set kipas angin. Tidak heran, karena dari sinilah mayoritas mereka berasal. Tempat para kiyai-kiyai ini menimba ilmu, dan kemudian mengamalkannya sampai saat ini. Sungguh jariyah yang tak pernah bisa ternilai harganya. Bahkan dengan barang-barang ini semua. Masya Allah, subhanallah. Sungguh betapa mulianya beliau semasa hidupnya, sehingga bahkan saat setelah wafatpun kebaikan serta barokah ilmu-ilmunya masih terasa manfaatnya hingga saat ini.

Tanpa sadar beberapa tetes air mata mengalir di pipiku. Ku usap dengan tissue yang sedari tadi ku genggam, tapi masih juga belum mampu menahan alirannya. Meresapi bacaan-bacaan sholawat nabi yang dilantunkan para santri di depan sana membuatku kian banjir air mata. Aku merasa sangat kecil di antara lautan manusia di sini. Hal yang sama terlihat di sekitar tempat dudukku. Banyak di antara para hadirin yang turut larut dalam syahdunya lantunan sholawat. Aku melirik Umi yang juga memejamkan mata sambil melantunkan sholawat nabi sambil menyeka air matanya. Di tangannya tegenggam tasbih kecil dan sebuah kumpulan sholawat yang terbuka di satu halaman. Aku menghirup nafas dalam mencoba menenangkan diri. Menoleh ke baris sebelah kanan, mencoba mencari keberadaan Abi yang entah di mana. Namun belum juga menemukan sosok yang sangat ku hormati itu, sebuah panggilan alam mengganggu konsentrasiku. Aku berpamitan sebentar pada Umi untuk pergi ke toilet menuntaskan hajatku dan segera bergegas pergi meninggalkan tempat dudukku.

Keluar dari Aula pertemuan, aku sedikit berlari untuk bisa segera sampai di toilet. Tidak butuh waktu lama karena lokasi toilet sendiri memang tidak terlalu jauh dari Aula. Tepat di samping Gedung, ada empat buah bilik kecil yang terbagi dua bagian. Dua bilik untuk pria dan sisanya untuk Wanita. Tapi saat sudah dekat, barulah ku lihat dengan jelas barisan panjang yang mengantri di depannya. Aku meringis menahan rasa ingin buang air kecil yang kian mendesak. Kalau aku harus ikut menunggu di sana, tidak ada yang bisa menjamin kalau aku tidak mengompol di tengah jalan. Dan tentu saja aku tidak mau hal itu terjadi. Sebenarnya ada banyak bilik kamar mandi santri di dalam pesantren yang tentu saja boleh digunakan, tapi jarak dari Aula ke sana tidaklah dekat. Aku teringat sebuah toilet kecil di dekat parkiran mobil yang tadi ku lewati. Sepertinya jaraknya tidak terlalu jauh. Lantas ku putuskn untuk segera menuju ke sana tanpa memikirkan pilihan lainnya lagi dan tentu saja semakin membuatku menahan pipis lebih lama.

Be My Real Gus!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang