Kesakitan Ini

18.7K 1.6K 96
                                    

#NoEdit

===

Aku tidak paham, kenapa dengan Bang Agra. Sekembalinya dari kota, dia tampak begitu gelisah. Aku sudah bertanya, tapi Bang Agra hanya menjawab dia baik-baik saja.

Barang yang katanya hendak di beli Bang Agra juga tidak ada. Dia pulang dengan tangan kosong, membawa kesedihan dari bola matanya.

Sekarang sudah malam, kami semua berkumpul hendak makan. Aku curiga ada yang tidak beres dengan Bang Agra.  Ayah mengajaknya berbicara, tapi jawaban Bang Agra membingungkan kami.

Dengan berbagai pertanyaan bersarang dalam kepala akhirnya kami selesai makan.

Adik Bang Agra langsung pamit keluar rumah, dia hendak mengerjakan tugas kelompok di rumah Ayu, anak pak RT.

"Aku mau nikahin Kisa, Pak."

Aku, Ibu dan Ayah terkesiap kaget. Kami menatap Agra dengan pandangan ngerih.

"Bang, sadar bencandaan nggak lucu," kata Ibu memberi pukulan di paha Agra.

"Kisa hamil, Bu. Anakku."

"Apa?" Aku menyentuh dada, di sana terasa sangat sakit. Mataku dengan cepat memanas, air mata mengalir deras dalam beberapa detik. "Bang Agra becanda kan."

"Maaf."

Jawaban Agra membuat tubuhku menggigil, aku memeluk kedua kaki, menatapnya dengan berlinangan air mata.

"Maaf."

Menggeleng, tangisanku semakin kuat. Aku berusaha kuat menahannya, tapi sakit di hati tak bisa di tahan lagi.

"Maaf. Aku benar-benar minta maaf." Agra menyentuh tanganku, dia sempat meremas sebelum aku menepisnya dengan kasar.

Bangkit, aku menatap Agra tajam sebelum berlalu dari sana.

"Kamu mau ke mana, Nak?"

"Aku mau pulang, Bu. Kerumah Mama," jawabku. Panggilan dari Ibu dan Ayah aku abaikan. Aku tidak kuat lagi di sana.

Agra telah menipuku, dia merusak janji suci pernikahan kami. Dan sekarang dia ingin menikahi wanita lain. Wanita yang tengah hamil anaknya.

Menghapus sisah air mata, aku mempercepat langkah. Tanya bingung dari warga yang aku jumpai di jalan, hanya ku jawab berupa senyuman.

Tiba di rumah, aku langsung mengedor pintu.

"Loh, Seb." Mama membalas pelukanku. "Kamu kenapa?"

Aku mengeleng, semakin mengeratkan pelukan dan meraung dalam pelukan Mama. Tidak lama kemudian Bapak datang, dia membawaku masuk ke dalam dan bertanya dengan lembut.

Awalnya aku tidak menjawab, tidak bisa mengeluarkan suara barang sepatah kata pun. Paksaan dari Bapak, terpaksa membuatku membuka mulut.

"Agra Pak, Agra mau nikahin Kisa."

Untuk beberapa detik hanya ada keheningan, lalu ku dengan Bapak memaki. Sedangkan Mama memelukku erat, ikut menangis bersama.

Mama berkali-kali meminta maaf, kurasa dia merasa bersalah karena telah merencanakan pernikahan kami. Bak kerasukan setan, aku juga sempat menyalahkan Mama, tapi aku berhasil membuangnya jauh dan memilih berlindung dalam pelukan Mama.

"Bapak mau ke mana?" teriakan Mama membuatku menoleh. Ku lihat Bapak sudah bersiap-siap ke luar pintu.

"Mau ke rumah si bangsat itu."

"Jangan Pak, Sebti gak mau Bapak ke sana." Aku bangkit, merangkul tangan Bapak dan menangis di sana. "Jangan ke sana."

Tarikan napas Bapak masih terdengar berat, Mama menutup pintu dan menguncinya. Tangisanku semakin kuat saat Bapak meminta maaf sembari memelukku.

Entah berapa lama aku menangis dalam pelukan Bapak. Saat tersadar, aku sudah berada di dalam kamar, berbaring dengan Mama di sampingku.

====

Melewati dua hari bagai melewati ribuan tahun, setiap malam selalu diawali dengan air mata. Kesepakatan sudah diambil. Perpisahan menjadi jalan keluar.

Baik keluargaku maupun Agra tidak ada yang melarang. Gugatan perpisahan sedang di urus agar bisa secepatnya dimasukan ke pengadilan agama.

"Seb, makan yuk. Mama buat sambal terasi. Ada daun ubi rebus sama sawi juga."

Aku menoleh, tersenyum melihat Mama berdiri di ambang pintu kamar. Menganguk, aku bangkit lalu meringis merasakan pusing yang teramat sangat.

"Kenapa Seb?" Mama memengangi kedua tanganku, dia menatap khawatir.

"Gak apa Ma, cuman pusing aja." Aku mengurut kening, berharap sakit di kepala menghilang.

Tapi percuma karena rasa sakit itu semakin menjadi. Meringis, Mama membantuku kembali ke tempat tidur.

"Kamu di sini aja, biar Mama yang ambilin makannya." Mama mengusap  kepalu dengan lembut.

Mataku langsung berkaca, apalagi melihat mata Mama yang memerah. Aku tahu Mama pasti sedih melihat kondisiku yang seperti ini. "Gak perlu Ma, kita makan di luar aja sama-sama." Aku menahan tangan Mama yang akan pergi.

Mama menganguk, tersenyum lalu duduk di samping ranjang. Membantu mengurut kepalaku. "Udah mendingan?" tanya Mama setelah beberapa menit terlewat.

Aku mengangguk, lalu duduk. "Makasih Mah," kataku dengan senyum tipis.

"Sama-sama, sayang."

Berdua kami melangkah beriringan menuju meja makan. Sudah ada Bapak di sana, sedang mencemili ikan asin goreng tepung di piringnya. Bapak tersenyum menyambut kami. "Lama sekali kalian, Bapak sampai lapar."

Mama tertawa, sedangkan aku hanya menampilkan senyum tipis. Duduk di meja makan, aku merasa mual mencium aroma yang tak sedap.

Aku menutup hidup dan mulut dengan satu tangan, membuat Mama dan Bapak kebingungan. "Kenapa Seb?" Mama bertanya sembari mengambilkan sambal ke piring Bapak.

Mengeleng, aku bangkit dan berlari ke kamar mandi saat rasa ingin memuntahkan sesuatu semakin menjadi. Sampai di kamar mandi aku langsung menghidupkan kran air dan muntah di sana.

"Seb... Seb, kamu kenapa?"

Ketukan di pintu aku abaikan. Aku meneteskan air mata saat rasa mual masih tersisah namun tak ada lagi yang keluar dari mulut.

Merasa sedikit lega, aku berkumur dan tertatih menuju pintu. Begitu membukanya, Mama dan Bapak sudah menyambutku dengan berbagai maca pertanyaan.

"Gak tahu Ma, perut Sebti sakit," keluhku memeluk perut sendiri.

Mama dan Bapak terlihat saling lirik, entah apa yang mereka pikirkan, tapi dari wajahnya terlihat sangat tidak enak.

Di bantu Mama aku di tuntun kembali ke kamar. Mama juga mengusapkan minyak kayu putih ke perutku.

"Mama buatin teh hangat ya."

Aku mengangguk pelan. "Makasih, Mah," kataku pelan. Mama menganguk, beliau pergi meningalkanku.

Sepeninggalan Mama aku mengusap perut, ada katakutan dalam hati. Namun, aku segera menepis ketakutan itu.

Menyakinkan diri sendiri aku percaya jika aku tidaklah hamil. Jangan sampai, karena aku tidak mau melahirkan anak Agra.

Keyakinan yang ku pengan itu harus pupus lima hari kemudian. Setelah berkali-kali mengalami muntah-muntah dan rasa pusing di kepala. Mama menandangkan bidan kampung.

Nyawa bagai hilang saat aku di nyatakan hamil. Bukan hanya sampai di sana saja, Agra tiba-tiba membatalkan perceraian kami.

Agra bilang, dia sanggup menanggup tanggung jawab hidupku dan Kisa.

Aku tidak percaya, aku tidak mau. Tapi Agra tetap kekeh dengan pendiriannya. Aku pusing, harus aku apakan kandungan ini agar Agra kembali menyetujui perceraian kami.

Karena aku tidak mau hidup bersama Agra lagi. Dan aku tidak ingin melahirkan anak lelaki itu.








Ya ampun. Kanget aku up ini.

Bagi vote sama komennya ya 😉

Perempuan Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang