Akhir perjalanan

27.4K 1.9K 283
                                    

Sangat sulit melupakan Agra. Bukan karena aku sangat mencintai dan memujanya. Namun, lebih karena sakit hati yang dia tinggalkan.

Andai aku tidak menaruh harapan jika rumah tangga kami akan berjalan selamanya kurasa tak akan sesakit ini.

Tapi jika dipikir-pikir lagi istri mana yang tak sedih, sakit hati dan terluka bila suaminya mencintai, menghamili wanita lain dan menikahinya meski tahu tak mendapat restu dari istri lainya.

Bahkan meski pernikahan mereka bukanlah didasari rasa cinta, sakit hati itu akan tetap ada. Seperti aku.

Sampai beberapa hari yang lalu aku masih belajar memaafkan dan kembali mencintai Agra. Namun sakit hati yang diberikannya membuatku muak dan sangat marah. Belum lagi teror-teror mengerihkan yang selalu dia kirimkan melalui pesan atau keluarganya yang lain.

Kurasa Agra sudah gila. Atau memang keluarga mereka semua gila.

Menghela napas panjang aku memeluk perut, mengelusnya dengan sayang. Aku berjanji akan melindungi anak ini apapun yang terjadi. Bahkan meski kehilangan nyawa sekalipun.

"Kesal Ibu loh Seb."

Aku tidak berkata apa-apa. Tak menoleh juga pada Ibu Agra yang duduk di sampingku.

Sudah dua minggu aku memiliki madu, sudah lima hari pula Ibu datang berkunjung ke mari.

Awalnya Mama menolak, dia tidak mengizinkan aku bertemu Ibu terlebih dahulu sebelum Agra menyetujui perceraian kami yang sedang kuusahakan.

Hari pertama Ibu pulang tanpa kami pernah bertemu, beliau hanya menitipkan buah-buahan untukku. Namun hari berikutnya Ibu datang lagi masih membawakan berbagai buah-buahan untukku.

Karena kebetulan aku sedang duduk di ruang tamu, Mama tidak bisa berkata aku sedang tidur seperti hari kemarin. Begitu terus selama beberapa hari ini.

Namun, kali ini kedatangannya tidak hanya membawa buah-buahan, beliau juga membawakanku bolu gulung yang menjadi favoritku selama ini.

"Kisa gak mau gantian. Dia tahunya di kamar aja. Gak tahu bangun pagi buat bantu ibu. Iya sih dia lagi hamil, tapi jangan semalas itu juga. Agra juga sama." 

Curhatan hati Ibu membuatku semakin marah. Ibu sangat keterlaluan, kenapa dia harus cerita padaku, kenapa dia tidak bercerita pada orang lain yang akan menanggapi antusias ucapan Ibu.

Dulu saja saat pekerjaanku salah di mata mereka. Ibu langsung menegurku, melarangku banyak hal. Tidak tahukah tindakannya membuatku malu dan merasa rendah diri.

Sekarang bukannya langsung mengatakan pada Kisa, Ibu malah lebih memilih bercerita padaku. Sangat tidak punya hati sekali

"Pulang yuk Seb, ibu gak mau punya menantu seperti Kisa. Enakkan juga sama kamu."

Aku mengumpat dalam hati. Mana sudi aku kembali ke rumah itu.

"Kasihan nanti kalau kamu udah lahiran. Kalau ada Agra kan lebih mudah Seb. Pulang yuk, sama ibu."

Aku menggeleng tegas. Kudengar Ibu menghela napas panjang. Aku tidak peduli dengan kekecewaannya, karena di sini akulah korban. Akulah yang paling kecewa dan terluka.

"Ibu masih berharap kamu terus sama Agra, Seb."

Aku kembali tidak bereaksi apa-apa. Lucu sekali harapan ibu. Apa dia mengira aku wanita bodoh? Mau saja kembali pada anaknya yang sakit jiwa itu.

Hari-hari kemarin aku memang menangis dan tertekan, tapi bukan berarti aku mau kembali pada anaknya.

"Ya sudah, Ibu pamit ya."

Aku mengangguk pelan. "Bu," panggilku saat Ibu sudah bangkit. "Besok jangan ke sini lagi ya."

Ibu mengerutkan kening, tapi aku tidak peduli dan terus melanjutkan perkataanku. "Besoknya lagi juga jangan." Aku menelan ludah, menatap mata Ibu yang terlihat marah. "Aku gak mau ketemu Ibu atau lelaki itu. Bisakan Bu."

Ibu tidak mengatakan apa-apa, beliau langsung angkat kaki dari rumahku dengan wajah menahan marah.

Menarik napas lega, aku berbalik dan melangkah masuk ke dapur.

"Kamu gak apa-apa, Seb?"

Aku tersenyum, lalu mengangguk. "Ini keputusan yang harus diambil Ma."

"Mama setuju sama kamu, mama tadi kesal bukan main dengar ibu itu bicara. Entah apa yang ada di kepalanya, bicaranya kok asal jeplak aja."

Aku meringis, saking kesalnya Mama sampai tidak mau menyebut nama Ibu. Aku juga seperti itu.

====

"Dian jadi datang, Seb?" Mama duduk di sampingku. Belian mengambil keripik dan memangkunya.

"Jadi. Dia udah di jalan, Ma."

Mama mengangguk sembari memakan keripik di pangkuan. "Kamu yakin Seb dengan semua ini," tanya Mama saat kami duduk di ruang tv.

Mama memandangku, wajahnya terlihat sangat sedih. Aku tersenyum lalu berkata, "Sangat yakin, Ma." Aku menggenggam sebelah tangan Mama menyandarkan kepala ke bahu Mama.

Hari-hariku semakin normal. Aku memang mengurung diri di dalam rumah, masih tidak mau bertemu banyak orang.

Tapi sekarang aku lebih bisa menerima keadaan. Lebih menyayangi anak dalam kandunganku.

Ketukan di pintu membuatku dan Mama saling pandang. "Kok Dian cepat sekali, Seb?"

Aku menggeleng tidak tahu, baru beberapa menit lalu aku menghubungi dan Dian bilang dia masih jauh.

"Biar Sebti aja Ma," kataku menjengah Mama bangkit.

Mama tersenyum, dia menggerutu sembari melangkah ke dapur.

"Iya sebentar," kataku mendengar ketukan-ketukan itu tidak berhenti juga.

Tidak biasanya Dian seperti ini. Dia selalu mengucap salam, sebelum membuat keributan di luar.

"Kau." Aku mundur satu langkah. Menyentuh dada aku kembali merasa sakit di sana saat melihat Agra ada di hadapanku. "Mau apa kau ke mari?"

Agra tidak mengatakan apa-apa. Tatapannya tajam dan menghunus. Dia terus diam dan memperhatikanku. Membuat ku risi dan ingin menutup pintu.

"Tunggu," katanya. "Aku ingin bicara serius padamu."

Aku mengalah, tapi tidak menatap wajahnya lagi. "Katakan."

"Mulai detik ini kamu aku ceraikan."

Dengan cepat aku mengangkat wajah, terkejut dengan perubahan tiba-tiba Agra.

"Kamu dengar, mulai detik ini aku sudah menceraikanmu." Agra masih terus mengatakan hal itu sampai aku mengangguk. "Urusan ke pengadilan akan aku selesaikan secepat mungkin."

Aku kembali mengangguk, tanpa mengatakan apa-apa lagi Agra berbalik, menaiki motornya dan pergi dengan cepat.

"Gila dia ya."

Aku menoleh, tapi tidak mengatakan apa-apa pada Mama.

"Kamu nangis Seb?" Mama mendekat, dia memelukku erat. "Maafkan Mama."

Suara penuh penyesalan Mama membuatku menggeleng. "Aku baik-baik saja, Ma."

Ya semua akan baik-baik saja. Dengan Agra menceraikanku, aku yakin kehidupanku akan berjalan semakin baik.

'Kita akan baik-baik saja sayang,' kataku dalam hati sembari mengelus perutku yang masih rata.













Sampai bab ini semua udah jelas ya, kalau Sebti gak sebodoh itu.

Perasaannya sama Agra juga tahap belajar sembari berjalan. 

Tapi tetap aja yang namanya di sakiti pasti bakal nangis. Sama pacar aja, orang kebanyakan nangis apalagi sama suami yang di harapkan bakal bahagiain dia.


Dan Ibu Agra, aku terinspirasi ari seseibu yang suka banding-bandingkan kedua menantunya 😂😂









Perempuan Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang