[1] Keadilan Hanyalah Ilusi

37 9 1
                                    

"Jangan kasar-kasar, lah. Kami cuman bermain saja, kok," ujar pria bertelanjang dada itu. Badannya penuh tato.

"Lagi pula, kami sudah bayar uang keamanan dengan atasanmu," tambah seorang lelaki kurus. Hidungnya bertindik.

"Tapi berjudi itu tindakan ilegal. Aku tidak bisa membiarkannya terjadi di tempat ini."

Yang barusan bicara adalah seorang pemuda dua puluh tahunan, mengenakan seragam dinas hansip, lengkap dengan pentungan yang terpasang di sisi sabuknya. Ia tengah bernegosiasi dengan sekumpulan penyakit masyarakat yang belakangan ini mulai meresahkan.

"Namamu Adam, bukan?"

"Memangnya kenapa?" sahut si pemuda.

"Kalau tidak salah, kau ini hansip magang yang dipekerjakan Pak Retno. Benar, 'kan?" Seorang pria kekar menatapnya sensi.

"Mau aku hansip baru atau lama, itu bukan urusan kalian," protes Adam,"masalahnya, perjudian itu tetap saja ilegal."

"Wah-wah, ternyata orang baru, toh." Si lelaki bertindik terkekeh, "dengarkan aku, Adam. Kami sudah lama ada di desa ini. Mungkin sejak kau masih SD atau SMP. Kegiatan seperti ini sama sekali tidak mengganggu, tahu."

"Apa maksudmu tidak mengganggu?" Adam menatap remeh, "ada beberapa laporan dari warga sekitar tentang keributan kalian di tengah malam. Harusnya itu sudah termasuk kegiatan mengganggu."

"Dasar keras kepala!" Si pria kekarmenggebrak lantai saung, tempat di mana kartu-kartu remi berserakan, "kau masih orang baru di sini, Bocah! Kalau Pak Retno tahu, kau pasti akan dipecat. Lihat saja!"

"Berhentilah mengoceh di depanku," balas Adam, "mana mungkin orang yang berniat baik dipecat."

~~GLUTTONY~~

"Mulai hari ini jangan ganggu kegiatan mereka. Kau mengerti, Adam?" Seorang pria tua berseragam hansip menegur Adam. Mereka tengah duduk santai di pos.

"T-tapi kenapa, Pak? Orang-orang itu berjudi, mabuk, membuat keributan. Bukankah tugas kita memang menertibkan hal yang seperti itu?" Adam tiba-tiba jadi serius. Ia tak gentar menceramahi seniornya sendiri, Pak Retno.

"Dasar kau ini! Idealis sekali," kritik Pak Retno, "dengarkan aku baik-baik, Adam. Memangnya kau sudah puas dengan gajimu sebagai hansip magang? Memangnya itu sudah cukup untuk melamar pacarmu nanti? Memangnya kau bisa kaya?"

"Tidak, memangnya kenapa?!" Adam menatap sengit.

"Itulah sebabnya kita harus pura-pura buta pada kejahatan yang menguntungkan," ujar Pak Retno, lalu meminum tehnya.

"Apa maksud Anda?" Adam mengernyit.

"Orang-orang yang kau sebut sebagai penjudi dan pembuat onar itu, mereka membayar uang keamanan kepada kita. Jumlahnya cukup besar. Sangat besar, malahan."

"Jadi Anda benar-benar menerima uang sogokan, Pak!?"

"Tutup mulutmu, Dasar bodoh!" Pak Retno membentak bawahannya itu, "di dunia yang serba kurang ini, mana mungkin ada keadilan yang bisa ditegakkan sepenuhnya. Kau harus paham itu!"

Adam seketika bungkam. Perkataan barusan serasa menghantam batinnya. Bahkan, orang sekelas pejuang keadilan seperti Pak Retno tega mengatakan hal sekeji itu. Kalau demikian, apa makna keadilan yang selama ini dianggap sebagai kartu as untuk kehidupan makmur?

"Aku tidak bisa memaksamu, sih. Kau masih terlalu muda untuk mengerti. Egomu masih terlalu tinggi."

"Apakah semua orang memang seperti itu?" Satu pertanyaan menyelusup dari lisan Adam.

GLUTTONYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang