[2] Glutton

21 11 0
                                    

"Berikan aku satu jiwa pendosa setiap hari sampai ajal menjemputmu."

Adam terbelalak. Jantungnya serasa mau berhenti, pun demikian dengan tengkuknya yang dijalari hawa panas. Memberikan jiwa pendosa itu, kira-kira apa maksudnya?

"Kau ingin aku mempersembahkan nyawa manusia kepadamu?!"

"Tidak. Aku ingin jiwa seorang pendosa. Ketika manusia telah banyak melakukan dosa, maka ia tak bisa lagi disebut manusia. Mereka adalah ternak," jelas Azazel.

"T-ternak!?"

"Biar kutanya padamu, Adam. Apa yang membedakan manusia dengan binatang?"

Adam diam sejenak, coba memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Mulanya ia mengira perbedaan itu terletak pada bentuk atau sifat. Namun, lama-kelamaan sebuah jawaban yang lebih menohok mulai terbesit.

"Hati nurani," timpal Adam.

"Manusia memang menarik."Azazel tertawa girang, "dosa merupakan tetesan lumpur yang sangat pekat. Ketika seseorang berbuat dosa, maka ia sedang mencelupkan hati nuraninya ke dalam kolam lumpur. Dan, jika dosa tersebut terus dilakukan—"

"Hati nuraninya akan tertimbun oleh lumpur," celetuk Adam.

"Hati nuraninya yang mati, perlahan-lahan mengubah dirinya menjadi binatang," sambung Azazel.

"Ja-jadi itukah maksudmu pendosa adalah ternak?"

"Benar. Ternak memang seharusnya dikorbankan agar punya manfaat. Jika tidak, mereka cuma akan menjadi sampah atau penyakit."

Entah mengapa, selepas mendengar perkataan Azazel, Adam menjadi tertarik dengan penawarannya. Ketakutan pemuda itu berangsur-angsur menghilang, digantikan antusiasme tinggi perihal kesamaan visi.

"Menciptakan dunia ideal itu bukanlah perkara mudah," ujar Azazel, "kau takkan mampu melakukannya kalau cuma mengandalkan kemampuanmu sendiri."

"Lalu ...," Adam berdiri menghadap sang iblis, "apa yang kau tawarkan, Iblis?"

"Glutton."

"Glutton?" Adam keheranan.

"Kemampuan melahap jiwa manusia," sahut Azazel.

Bukan main skeptisnya Adam soal jawaban yang satu ini. Kemampuan melahap jiwa manusia, apakah benar-benar berguna untuk menciptakan dunia yang ideal? Atau, ia sedang dijerat oleh tipu daya iblis?

"Lupakan saja," tukasnya, "aku tahu kau berusaha menghasutku."

"Dasar manusia dungu," cerca Azazel, "apakah pemikiran kalian memang sesempit itu?"

"Apa maksudmu?!" semprot Adam.

"Untuk mewujudkan cita-citamu, bukankah kau perlu menyingkirkan orang jahat terlebih dahulu?"

Azazel ada benarnya. Dunia ideal takkan terwujud bila masih ada ketimpangan yang disebabkan oleh orang-orang picik. Bahkan, sumber utama dari racun yang menggerogoti dunia ini adalah hasrat dari orang-orang tersebut.

"Tidak ada cara untuk membasmi mereka, selain membunuhnya satu per satu. Namun, membunuh adalah sesuatu yang sulit dilakukan oleh amatiran sepertimu. Kau pasti akan meninggalkan jejak, membuat dirimu dijebloskan ke penjara secepatnya. Maka dari itu, jika mampu melahap jiwa mereka, kau dapat beraksi dengan aman."

Gejolak di hati Adam kian besar. Keraguannya seolah dilumat bulat-bulat oleh cahaya harapan yang amat menyilaukan. Saking silaunya, pemuda itu sudah lupa bahwa yang ia ajak bicara adalah seekor iblis yang penuh muslihat.

"Keadilan, manusia yang bersih, kebenaran, hukuman berat untuk kejahatan. Bukankah semua itu yang kau inginkan, Adam?" Azazel berucap lantang, menggetarkan hati lawan bicarannya.

GLUTTONYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang