Setelah sekian lama usahaku melupakan, rupanya kamu belum betul-betul hilang.
Kamu adalah sebandel-bandelnya noda, sepekat-pekatnya tinta yang tumpah pada kemeja kerja. Yang membekas, yang melintas.
Selama ini aku hanya menutupi, hanya berusaha tidak mengunjungi sisa memori yang lupa kaujemput pergi.
"Jika tak mampu melupakan, setidaknya jangan berusaha mengingat"
Konsep itu aku kuasai dengan cepat.
Membuatku menjadi ahli menghindari.
Sampai suatu ketika aku tak sengaja menemukanmu, yang sialnya masih sama istimewanya meski sudah beribu kali kukatakan pada diriku jika kamu biasa saja.
Rupanya tanpa sengaja aku juga memiliki seorang lain yang tak patuh, kelemahan yang selama ini kutolak untuk bicarakan. Aku lupa berdamai dengan diriku. Aku tak pernah mengajaknya sepakat untuk melupakanmu.
Tak heran mengapa aku belum menang, lawanku dua orang;
Dirimu,
dan
diriku di masa lalu yang masih berharap bersatu.**