Bagian 2 : Sandra dan Gina

9 0 0
                                    

"4L," ceplosku.

"Lo lagi lo lagi," lanjutku.

Dia tertawa. Tawanya yang selalu mengajakku untuk ikut tertawa.

"Seneng kan," godanya yang duduk di belakang sebelah kiri ku.

Aku menggeleng.

Tidak ada pemikiranku akan se-kelas lagi dengannya. Sama sekali tidak terlintas dipikiranku. Aku tau dia masuk SMA yang sama denganku dan juga mendapat golden ticket, tapi aku baru menyadari bahwa ini tahun keempat yang akan ku lalui bersamanya lagi.

"Inget kata Dikta dulu?" Tanyanya.

Aku menggeleng.

"Dikta pastiin bakal sekelas sampe lulus," ucapnya.

Dulu, saat kami duduk dibangku 2 SMP, ia pernah berkata seperti itu. Dan perkataan tersebut menjadi kenyataan. Entah dia me-request sekelas bersamaku kepada Papa nya atau entahlah aku juga bingung. Pernah sekali tante Halimah menawarkanku untuk me-request ingin sekelas dengan siapa, tapi aku menolaknya. Biarlah aku mendapati teman baru.

Karena Papa nya Dikta adalah wakil kepala sekolah, bisa jadi dia me-request tapi aku tidak ingin kegeeran dulu.

"Tapi enggak di SMA ini, Dik," ucapku.

"Kenapa?" Tanyanya.

"Karena gak ada Pak Tono lagi," jawabku dengan nada bercanda.

Dia terkekeh.

Pak Tono adalah Papa nya Dikta.

"Terserahlah, yang penting kita sekelas lagi," ucapnya.

***

Di kelas ini alumni yang sama denganku banyak. Rata-rata mereka dari kelas unggulan, sedangkan aku dan Dikta kelas reguler. Bukan tidak kenal, tapi aku tidak akrab dengan alumni lainnya, hanya sesekali bertegur sapa.

Aku sudah mulai berbaur. Sekarang aku sedang duduk berdua dengan Sandra. Dia alumni sekolah ternama juga di kota ini. Dia baik dan cantik. Lihat alisnya yang tegas dan bibirnya yang merah. Dia seperti selebgram. Dia sengaja tidak ke kantin karena aku tidak ke kantin. Jadilah kami berdua menyantap bekalku berdua. Untungnya Sandra tidak malu-malu.

Sekembalinya Dikta bersama Galang ia memberikanku sebotol air mineral. Sepertinya kebiasaan di SMP, dia bawa ke SMA. Tiga tahun aku sekelas dengannya, hampir dua tahun dia membelikanku minuman. Entah itu air meneral atau susu kotak maupun minuman apa saja yang tidak ada es batunya dan tidak dingin.

"Gak dingin," protesku ketika dia sedang mencari sesuatu di tas nya.

"Kebiasaan! Abis makan kok minum dingin," ucapnya yang masih sibuk dengan kegiatannya.

Aku cemberut karena lagi dan lagi dia tidak membelikan ku air mineral dingin.

"Nyari apa sih?" Tanyaku.

"Handphone, liat handphone Dikta?" Tanyanya.

Aku memutar bola mataku. Jelasnya dia menitipkannya padaku saat dia bolos sejam terakhir sebelum keluar tadi.

Aku memberikan handphone nya beserta omelan. Dia hanya membalasnya dengan cengirannya. Setelahnya dia pergi dengan Galang yang menggondol lauk bekalku.

Sandra menurunkan layar gadgetnya setelah mereka berdua benar-benar pergi.

"Pacar lo?" Tanya Sandra.

Aku menggeleng. Entahlah aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana hubunganku dengan Dikta.

Kami tidak saling terikat komitmen, tapi kami bisa dibilang selalu bersama sejak SMP. Siapa yang tidak tau kedekatanku dengan Dikta. Tanteku —tante Halimah—mungkin juga mengetahui kedekatanku dengan Dikta karena wali kelasku dulu adalah tempat curhatku dan Intan.

"Baik banget sampe beliin minum," timpalnya.

Aku terkekeh.

"Dia memang gitu," jawabku.

"Sweet," balasnya yang kemudian aku mengajak Sandra untuk mampir ke kelas 10.4. Pasti sahabatku berkumpul disana.

***

Ternyata, bukan aku saja yang membawa teman baru. Gadis pun membawa teman baru, dia Gina. Cantik. Itu pertama kali kata yang terlintas dipikiranku.

Aku memang bukan perempuan yang gaul. Yang mempunyai koneksi teman di luar sana. Dan aku juga bukan type yang bisa akrab lewat sos-med. Ternyata Gina adalah selebgram. Pantas saja dia cantik. Aku juga baru tau, Gadis yang memberitahuku.

Dia baik. Itu kata kedua yang terlintas dalam pikiranku. Tapi setelah aku bergabung selama istirahat setengah jam. Aku bisa menyimpulkan bahwa Gina adalah orang yang sedikit banyak bicara, sama seperti Intan. Berbedanya hanya aku sudah terbiasa dengan lambe nya Intan.

"Gue balik ke kelas ya," ucapku.

Karena lima menit lagi bel masuk berbunyi.

Mereka mengangguk. Sandra tetap bergabung dengan mereka, hanya aku yang pulang ke kelas.

Jujur aku kurang suka dengan sifat Gina yang terlalu banyak bicara. Banyak bicara nya dia berbeda dengan Intan. Sebagai contoh, dia terlalu membanggakan statusnya sebagai selebgram. Karena sedari tadi topik yang mereka bicarakan adalah ketenaran Gina. Aku bukan iri, sama sekali tidak berminat untuk dikenal orang banyak. Tapi aku kurang suka jika dia terlalu membangga-banggakannya.

Sebelum masuk ke kelas, aku melihat Dirga dan Bubu duduk lesehan depan kelasku.

"Se!" Panggil Bubu.

Aku cukup dekat dengan Bubu. Semasa SMP, walaupun aku hanya satu tahun sekelas dengannya tapi aku cukup dekat dengannya. Dia selalu terbuka padaku. Aku pun begitu. Dia menceritakan apapun yang sedang ia rasakan dan aku juga begitu. Kecuali masalah keluargaku. Aku hanya menceritakan tentang keluargaku pada Intan yang memang dia mengenal keluargaku.

Hingga suatu ketika, Gadis curiga bahwa aku berada dalam cinta segitiga—Dikta, aku, Bubu. Dan itu tidak mungkin terjadi, pasalnya Bubu sudah mempunyai kekasih sejak akhir SMP hingga detik ini.

Aku mendekat. Duduk disebelah Bubu yang sedang memainkan game online di gadget nya.

"Abis dari mana?" Tanya Bubu.

"10.4," jawabku.

"Yang, pulang bareng ya," ucap Dirga yang tetap fokus pada gadgetnya.

Sepertinya mereka bermain game online bersama. Karena Bubu sejak tadi tidak berhenti menyumpah serapahi permainan yang sedang ia mainkan bersama Dirga.

"Apasih Ga!" Kesalku.

Dirga hanya membalasnya dengan kekehan.

Jangan heran jika Dirga memanggilku begitu. Sejak kami sekelas di SMP, walaupun hanya satu tahun juga dia sekelas denganku tapi dia masih saja menggodaku. Entah itu memanggilku sayang, melihatku sambil tersenyum atau menggombaliku di depan guru. Untungnya saja, Dirga masih mempunyai sifat yang sedikit waras walaupun tidak banyak.

Aku juga tidak risih dengan tingkahnya Dirga yang fakboi itu, karena aku tau dia hanya bercanda. Dan fyi orang tuaku dan Dirga saling kenal, hingga kakeknya pun kenal dengan kakekku, karena rumah nenek Dirga dekat dengan komplek perumahanku.

—d

Ku Kira Aku IstimewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang