Tahun keempatku bersekolah di Yayasan Jaya Abadi. Merupakan awal masa putih abu-abuku. Syukurnya aku kembali mendapatkan tempat di SMA Jaya Abadi tanpa tes karena aku mendapatkan undangan dari SMP. Walaupun nilai ujian nasionalku kurang memuaskan tapi setidaknya aku mendapatkan golden ticket ke SMA Jaya Abadi.
Kemarin aku sudah melewati tahapan mos. Mengenal lingkungan sekolah yang sudah ku kenal sejak tiga tahun yang lalu. Aku cukup mengenal teman sekelas mos ku karena kebetulan lagi, beberapa nya adalah murid lama, dari SMP sebelah, sama sepertiku. Kira-kira 70 orang yang mendapatkan golden ticket, termasuk aku.
Dan hari ini pembagian kelas. Aku sudah siap lebih pagi dari hari biasanya. Aku tidak ingin kebagian tempat duduk di belakang. Aku ingin duduk ditengah. Dan sepertinya alam sedang tidak berbaik hati padaku.
Pagi ini hujan turun. Dan itu artinya aku harus diantar menggunakan mobil. Jujur, aku paling tidak suka jika diantar dengan mobil. Bukannya aku tidak bersyukur, tapi lihat saja bagaimana jalanan macet jika pagi seperti ini. Aku lebih baik menggunakan jasa ojek langganan Bunda dari pada harus diantar Ayah.
"Yah ujan," helaku.
Bunda meletakkan sebuah kotak bekal di meja makan. Aku mengambilnya.
"Sana berangkat! Dari pada nambah telat datengnya, mendingan berangkat sekarang," ucap Bunda.
Aku mengangguk. Berjalan ke garasi rumah dan langsung duduk disebelah Ayah. Aku tidak biasa duduk dibelakang. Dulu, yang mengantarkanku kemana-mana pasti Om Oji. Dua tahun berlalu, aku cukup kehilangan Om Oji—supir Ayahku. Dia berjasa saat hujan seperti ini.
"Yah, lewat jalan tikus aja," pintaku.
"Enggak macet jam segini mah, orang-orang pada belum bangun," jawab Ayah bersamaan ia melihat arloji nya.
Pukul 6 lewat sedikit.
Dan kenyataannya berkata lain. Aku sampai di sekolah dua menit sebelum bel berbunyi. Sekolahku memang tidak di tutup gerbangnya jika telat. Bayangkan jika gerbang ditutup pukul 7:30 pagi, sedangkan ada anak SD dan TK yang datangnya telat. Bisa-bisa mereka sering tidak masuk karena gerbang ditutup.
Paling tidak sewaktu SMP, aku dihukum belajar ditengah lapangan sampai jam ketiga berbunyi. Atau tidak memungut sampah dikeliling lapangan upacara.
Aku berlari menembus hujan. Tadinya Ayah kekuh ingin mengantarku dengan payung hingga gedung SMA. Tapi ku tolak. Karena posisi mobil berhenti dekat dengan gedung SMA.
Ketika sampai di gedung SMA, aku membersihkan rok serta bajuku yang terkena air hujan. Aku melihat ke kanan dan mendapati para siswa yang memakai pakaian yang berbau cina itu bergerombol didepan papan pengumuman.
Aku mendekat. Dan bertanya pada Intan—sahabat sekaligus saudara jauhku.
"Pembagian kelas," jawab Intan.
Aku pun langsung menerobos pelan gerombolan yang sedang melihat pengumuman pembagian kelas. Aku menerobos dari bawah. Perlahan aku melihat tabel di depan mataku saat ini. Mencari namaku disana.
Seraphina Dainty
Itu dia namaku. Aku melihat ke pojok kanan atas. Disana tertera 10.2.
Aku mundur perlahan kebelakang. Dan menghampiri Intan yang sekarang sudah bersama Adisa.
"Dapet kelas apa, Se?" Tanya Adisa.
"10.2, kalian?" Tanyaku.
Intan memasang raut wajah kaget.
"Yah gak sekelas, gue sama Intan 10.4," jawabnya.
"Kok bisa sih, Se?" Tanya Intan yang cukup ambisius.
Aku mengangkat kedua bahuku. Aku juga heran mengapa aku mendapatkan kelas 10.2.
Aku tau mengapa Intan terlihat kaget. Dia memang jauh lebih pintar dariku. Dia jago matematika, dia jago IPA, apalagi fisika.
Pasti kalian menganggap bahwa Intan angkuh nan sombong. Sampai dia tak percaya bahwa aku mendapatkan kelas yang lebih unggul diatasnya.
Tapi percayalah, dia tidak seperti itu. Dibalik sisi ambisius nya, Intan adalah sosok teman dan saudara yang baik.
Aku dan mereka berdua berjalan beriringan menuju koridor kelas 10. Aku baru ingat jika ada teman SD ku yang juga masuk SMA Jaya Abadi. Setelah aku mendapatkan tempat dudukku di barisan kedua aku kembali keluar mencarinya.
Aku menghampiri 10.4 dan benar. Dia si tahi lalat di bawah mulut. Cia. Dia sahabat SD ku, pindahan dari Bengkulu.
"Cia!" Sapa ku tanpa suara.
Cia yng kebetulan melihat kearah pintu melambaikan tangannya. Dia berjalan menghampiriku.
"Lo kelas apa?" Tanyanya.
"10.2, sebelah," jawabku.
"Takut," ucapnya.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Takut gak dapet temen?" Tanyaku.
Dia mengangguk.
Sudahku tebak dia takut tidak mendapatkan teman. Sama seperti dulu saat dia menjadi murid pindahan. Jika bukan aku yang mengajaknya berkenalan mungkin sampai sekarang aku tidak akan berteman sedekat ini dengannya.
"Tenang, bentar lagi dapet temen kok," ucapku menenangkannya.
"Enak lo terkenal, Se. Gue mah apa, di kelas cuman kenal Fajar," ucapnya.
Aku terkekeh. Bukan meremahkannya. Tapi karena sifatnya yang tidak berubah. Lagi pula sebentar lagi juga dia akan mendapatkan teman.
Fajar yang dimaksud oleh Cia adalah Fajar teman SD kami. Syukurlah, setidaknya Cia ada satu teman yang ia kenal dikelasnya.
"In! Dis! Nih kawan gue yang pernah gue ceritain itu. Titip dia ya!" Teriakku pada Intan dan Adisa yang sibuk memilih tempat duduk.
Mereka mengangkat kedua jempolnya.
"Mereka berdua temen gue. Mereka gak galak dan gak makan temen kok, haha," ucapku.
"Lo bisa temenan sama mereka kalo lo mau," lanjutku.
Cia mengangguk, paham.
Aku kembali ke kelas ketika seorang yang ku tebak wali kelasku masuk ke dalam kelasku. Aku pamit pada Cia dan berlari menuju kelas.
***
Hallo,
Salam kenal dari aku. Cerita pertamaku dari kisah nyata. Walaupun sedikit aku ubah sedikit tapi inti nya tetep sama.
Cerita klise memang tapi semoga kalian para pembaca suka.
—d,
Mei 26, 2k19
KAMU SEDANG MEMBACA
Ku Kira Aku Istimewa
Novela JuvenilPerkenalkan, aku Seraphina Dainty. Dia, Dandy Pradikta. Kami bersahabat sejak kami duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dia yang menghiburku disaat keadaanku sedang tidak baik-baik saja. Pada awalnya, persahabatan kami berjalan dengan baik. ...