Aku mengatur nafasku hingga keringatku tidak bisa berhenti bercucuran. Hari ini aku pengambilan nilai senam kekuatan. Aku berpasangan dengan Sandra.
"Capek, pak," keluhku di pinggir lapangan.
Giliranku dan Sandra sudah selesai, kami kelompok ketiga yang telah selesai. Dan diperbolehkan untuk duduk.
"Halah gini doang, Se," jawab Pak April dengan logat jawa nya.
"Pak, beli minum ya," izin Sandra.
"Gak setia kawan banget kamu, Div. Iki koncomu belum rampung wes beli minum," jawab Pak April.
Lalu Sandra meneriaki yang lain agar segera selesai. Karena dirinya sudah tidak kuat lagi ingin membeli minum. Para siswa pun menyoraki Sandra. Aku yang disebelahnya menahan Sandra agar tidak maju menghajar pada siswa yang lain sembari tertawa tentunya.
***
"Pulang sama siapa, Se?" Tanya Bubu saat aku sedang berjalan seorang diri menuju gerbang sekolah.
Sahabatku yang lain sudah pulang lebih dulu. Karena jadwal piketku hari ini jadi nya aku pulang agak terlambat karena membersihkan kelas dan juga sedikit menegur para warga kelas untuk melaksanakan piketnya.
"Naik angkot mungkin, Bu," jawabku.
"Butuh tumpangan?" Tanya Bubu.
Aku ingin.
"Yaa kalo ditawarin, mau lah," ucapku dengan nada canda.
Dia tertawa melihat tingkahku. Tidak ada nama nya jaga image di depan Bubu atau sahabatku yang lain. Aku ya aku. Aku apa ada nya seperti ini.
Jika tidak suka ya bilang tidak suka.
Dan para sahabatku cukup mengerti sifatku yang nyablak seperti itu.
Sesampainya di gerbang. Motor vespa dengan helm yang tidak memiliki kaca itu berhenti di depanku.
"Ayo!" Ajaknya.
Aku menoleh ke parkiran.
"Habis dari mana?!" Tanyaku dengan nada tidak santai.
"Warbu," jawabnya.
"Sera pulang sama Bubu," ucapku.
"Woi Dik! Ada siapa disana?" Tanya Bubu saat motor ninja hijaunya—pemberian orang tua nya karena ia menuruti kemauan orang tua nya untuk lanjut di SMA Jaya Abadi—sudah berada di samping motor vespa putih Dikta.
"Rame, lo mau kesana?"
Bubu mengangguk. "Abis nganter Sera tapi,"
"Balau udah nunggu, sana gih! Biar Sera gue yang anter," ucap Dikta.
Bubu melihat kearahku. Seakan meminta persetujuan.
Aku mengangguk pelan. Ragu sebenarnya. Antara tidak enak dengannya dan ingin menolak perkataan Dikta tadi.
Tapi aku tau akibatnya jika aku menolak ajakan Dikta. Dia akan marah hingga besok, marahnya Dikta menyeramkan dibanding marah yang mengomel, marahnya dia dengan cara mendiamiku. Aku tidak suka dengan cara marahnya dia, jika dia marah seharusnya dia mengomeliku bukan malah mendiamiku selama seharian. Karena aku tidak tau letak kesalahanku dimana. Dan jika dia marah, bisa-bisa mendiamiku hingga seminggu.
Aku memegang pundak Dikta untuk memudahkanku duduk di jok belakang. Sebelumnya Dikta sudah memberikanku helm. Helm milik adiknya, yang sengaja ia bawa tiap hari.
"Ngapain tadi nerima ajakan Bubu?" Ucap Dikta dengan suara yang kencang akibat diterpa angin.
Aku sedikit memajukan telingaku agar terdengar ucapan Dikta.
"Rejeki gak boleh ditolak," jawabku.
"Ngapain di warbu?" Aku balik bertanya dengan suara kencang pula.
"Kumpul," jawabnya.
"Ngerokok pastinya," sindirku.
"Jelas, tadi sembari ngerokok satu bungkus nungguin Sera piket," jawabnya.
Aku memukul bahunya.
"Sekalian dua bungkus biar langsung mati!" Kesalku.
Dia tertawa.
Huh dasar. Sudah ku peringatkan jika jangan merokok terus. Aku bukan melarangnya untuk merokok. Tapi setidaknya aku sudah memperingatkannya jika jangan terlalu banyak merokok. Boleh merokok sewajarnya saja.
Aku tau pergaulan dia disana. Teman-temannya juga bukan hanya dari SMA ku saja. Tapi SMA negri pun ada. Dan menurut informasi yang aku peroleh dari Dirga, mereka minum dan ada beberapa yang memang menggunakan ganja.
Aku memang tidak suka jika Dikta bergabung dengan mereka. Tapi aku tidak bisa melarangnya. Aku bukan siapa-siapa nya. Aku hanya sahabat yang bisa memperingatinya dan memberikannya saran. Tak jarang pula Dikta menerima saranku.
—d
KAMU SEDANG MEMBACA
Ku Kira Aku Istimewa
Teen FictionPerkenalkan, aku Seraphina Dainty. Dia, Dandy Pradikta. Kami bersahabat sejak kami duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dia yang menghiburku disaat keadaanku sedang tidak baik-baik saja. Pada awalnya, persahabatan kami berjalan dengan baik. ...