Prolog

980 111 13
                                    

Gelegar suara petir berkumandang ketika suara tangis bayi memecah keheningan. Ruangan yang temaram itu hanya berisikan empat orang wanita dan seorang bayi yang baru saja dilahirkan. Bayi yang dibungkus kain berwarna hijau itu tengah ditimang oleh sang ibunda. Sedangkan tiga wanita lainnya berdiri dengan mimik cemas.

“Yang Mulia Ratu. Apa yang harus kita lakukan?” salah satu dayang beringsut mendekat. Ia melihat bayi yang digendong sang ratu dengan tatapan cemas.

“Kita tidak mungkin pergi dalam cuaca seekstrim ini. Entah mengapa, bertahun-tahun Valia dilanda kekeringan, tetapi malam ini hujan turun dengan derasnya.”

“Kita tetap akan pergi.”

“Yang Mulia!”

“Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi, Lyra. Kau lupa beberapa bulan aku telah diturunkan dari kedudukan ratu?”

“Yang ….”

“Aku tak akan menyandang gelar itu lagi, Lyra. Jadi, kalian harus belajar mulai dari sekarang. Kedudukan kita sama. Seorang budak.”

“Ti—dak.” Lyra berlutut begitupun dengan dua orang dayang lainnya. Mereka terisak. Kesedihan kembali memenuhi ruangan itu.

“Tak peduli Yang Mulia Raja menurunkan Anda menjadi seorang budak, bagi kami Anda adalah ratu kami. Ratu Haufa dari Valia,” seru Em—salah satu dayang yang paling pendiam diantara dua dayang lainnya.
 
Di luar sana cuaca semakin ganas. Hembusan angin selaksa badai mengguncang negeri Valia. Hujan yang bercampur dengan angin besar membuat negeri itu diselimuti badai. Valia yang selalu kekeringan tiba-tiba mendapatkan berkah juga bahaya.

“Itu tak berarti lagi sekarang, Em.” Haufa menghela napas berat, dipeluknya sang bayi lebih erat. Mencoba menguatkan diri dan tetap berpikir jernih. Sorot matanya yang indah kini berganti dengan kepahitan yang tiada henti.

Dua jam yang lalu, suaminya—Raja Gardey—datang melihat anak mereka. Tidak. Lebih tepatnya, memastikan ramalan itu benar. Bahwa sang anak yang dilahirkan dari Ratu Haufa akan menjadi bencana bagi siapa pun yang berada di dekatnya.

Melihat tanda lahir berbentuk api di tengkuk leher sang bayi, hampir saja Raja Gardey menghunuskan pedangnya untuk membunuh anaknya. Jika Ratu Haufa tidak melawan, kemungkinan sang putri akan terbunuh malam ini juga.

Pada akhirnya kesepakatan kemudian terbentuk antara raja dan mantan ratu. Haufa akan membawa pergi anaknya sejauh mungkin. Jauh dari istana dan hidup di hutan gelap seumur hidup mereka. Tak ingin mendapatkan bencana lebih dalam, Raja Gardey memerintahkan mereka harus pergi sejak kesepakatan disetujui. Tanpa memikirkan badai besar diluar sana, Raja Gardey tetap bersikukuh pada pendiriannya.

Haufa menyetujui. Ia hanya harus pergi membawa putrinya. Jauh dari jangkauan tangan-tangan jahat yang tengah menjerat kerajaan ini.

Sekelompok prajurit dan seseorang yang memakai pakaian pejabat kerajaan, berderap di lorong istana melangkah ke arah ruangan mantan ratu. Tiba di depan pintu kamar dan tanpa mengetuk terlebih dahulu, mereka langsung menerobos masuk.

“Pengawal cepat bawa mereka pergi!”

Haufa dan tiga dayang yang tengah berlutut beranjak berdiri. Mereka menatap kaget pada prajurit yang tiba-tiba mengelilingi. Keempatnya merapat bermaksud melindungi satu sama lain. Tanda agresifitas terlihat dari para prajurit sehingga Lyra, Em dan Fal bersiap melindungi Haufa.

“Tenanglah!” Haufa bergumam lalu keluar dari perlindungan ketiga dayangnya. Langkahnya menghadap pada Agsa. Sang pemimpin pasukan.

“Kami akan pergi!”

The Soulmate (Belahan Jiwa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang